Posted on

Tujuh hari setelah Lebaran, warga Klaten punya tradisi bakdo kupat yang ciri khas utamanya adalah membuat dan berbagi masakan opor ketupat. Dalam bahasa Jawa, kupat adalah singkatan dari ‘ngaku lepat’ (mengakui kesalahan).
Meski tidak merayakan lebaran, keluarga kami mendapat hantaran kupat. Tapi hantaran yang ini ada story-nya. Adalah seorang pria paruh baya bernama Bejo yang berprofesi sebagai blandong (penebang kayu).
Sayangnya, hari itu nama Bejo (yang artinya beruntung) kurang bertuah. Rantai sinso (gergaji mesin) yang dipakainya putus, lalu menyabet kakinya sehingga terluka sangat parah. Bejo segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Namun karena kekurangan biaya, maka pengobatannya tidak tuntas sehingga alih-alih mengering, luka-luka itu terinfeksi dan membusuk. Dia terbaring tak berdaya di gubuknya.
Seseorang yang prihatin melihat keadaan itu lalu mengabarkan hal ini ke tim kami, yang lalu diteruskan ke seorang dermawan. Singkat kata, Bejo diperiksakan ke rumah sakit AU di Adisumarmo Solo. Dokter mengatakan bahwa salah satu kakinya harus diamputasi sebatas paha karena dagingnya sudah membusuk parah.
Karena tak ada pilihan lain, Bejo harus rela kehilangan salah satu kakiknya.
Seusai amputasi, ternyata Bejo masih kurang beruntung lagi. Bejo dan istrinya bercerai. Untuk menyambung hidupnya, Bejo mengamen di bis antar kota. Setelah itu sempat menjadi penjaga masjid sebelum akhirnya bertemu jodohnya lagi. Mereka membuka toko kelontong. Sekarang hidup Bejo sudah bejo lagi.
****
Sebagai ucapan terimakasih, setiap bakdo kupat Bejo memberikan hantaran ketupat ini kepada orang-orang yang pernah menolongnya.