Posted on

Ada selebritas TikTok yang ingin memberi kejutan kepada pacar perempuannya. Dia adakan siaran live ke kamar kos pacarnya. Akan tetapi justru dia yang mendapat kejutan karena memergoki pacarnya itu sedang berduaan dengan pria lain.
Banyak netizen yang bersimpati kepada sang selebritas Tiktok ini. Banyak pula yang menghujat kepada sang perempuan. Akan tetapi sedikit sekali yang menyoroti soal intrusi sang selebritas ini terhadap ruang privat. Sang selebritas mengadakan siaran langsung ke wilayah privat tanpa persetujuan atau konsen pihak perempuan. Akibatnya peristiwa privat itu akhirnya menjadi ajang konsumsi publik.

“Eh tapi itu ganjaran pantas buat sang perempuan dan pria lain karena sudah berselingkuh” Barangkali itu yang terlintas di benak banyak orang. Mereka merasa puas karena bisa “menghakimi” pasangan ini. Persoalannya, hubungan mereka masih sebatas pacaran. Mereka belum menikah. Itu artinya sang selebritas tidak punya landasan yang kuat untuk mengadakan siaran langsung tersebut.

Pada masyarakat yang masih komunal, ruang privasi kadang menjadi barang yang langka. Kita seperti hidup di dalam akuarium yang terlihat dari segala arah. Orang lain merasa punya hak untuk melongok ke dalam kehidupan privat. Contoh klasik adalah pertanyaan: “Kapan menikah?” terhadap orang yang masih lajang. Atau kalau sudah menikah akan ditanya, “kapan punya anak?” Dan kalau sudah punya anak, lalu ditanya, “Kapan si sulung diberi adik?”

Pertanyaan itu dilontarkan bukan dalam rangka menunjukkan empati, melainkan untuk memamerkan diri: Lihatlah aku sudah menikah! Lihatlah aku sudah punya anak! Lihatlah, aku sudah punya anak banyak! Lihatlah aku lebih baik daripada kamu! Kasihan deh hidupmu.

Demikian juga terjadi pada kasus selebitas tadi, netizen yang meriuhkan video tadi bisa jadi juga sedang membuat pengumuman terselubung:

“Lihat aku dong. Aku setia pada pasangan. Jangan seperti perempuan ini!”

“Aduh kasihan pria ini. Dia salah pilih pacar. Untung pasangan saya tidak begitu!”

Saya jadi ingat cerita 2000 tahun yang lalu. Ada dua orang yang sedang berdoa di rumah beribadah. Mereka adalah pemimpin agama dan petugas pajak.

Pemimpin agama berdoa dengan lantang. Katanya, ‘Ya, Allah, aku berterima kasih pada-Mu karena aku tidak seperti orang lain, pencuri, orang yang curang, orang yang berzina bahkan tidak seperti pemungut pajak itu.’

Pemungut pajak itu pun berdiri sendirian. Dia tidak berani memandang ke langit, tetapi ia memukul-mukul dadanya sambil berdoa, ‘Ya, Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.’

Pada zaman now, kita mudah sekali untuk membanding-bandingkan diri dengan perbuatan orang lain. Saat kita merasa memiliki standar moral yang lebih tinggi, bisa jadi kita akan menjadi seperti doa pemimpin agama tadi, “Aku bersyukur karena tidak melakukan perbuatan itu” Benarkah kita lebih saleh? Bisa jadi kita tidak melakukan dosa tersebut, tetapi kita berdosa dalam hal yang lain. Mungkin malah lebih parah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *