Posted on

Naina adalah seorang penyandang sindrom Touroutte, yaitu sebuah gangguan sinyal yang mempengaruhi otaknya. Ketika serangan itu datang, maka dia akan mengeluarkan suara aneh yang tidak terkendali.
Meski demikian, sindrom itu tak menghalangi hasrat terbesar dalam hidupnya yaitu menjadi guru. Tentu saja tidak mudah mencari sekolah yang dapat menerima keadaannya itu. Hingga akhirnya dia mendapatkan tawaran dari sebuah sekolah untuk mengajar kelas ‘buangan.’
Kelas ini punya reputasi berandalan. Sudah banyak guru yang menyerah akibat sering dikerjai para murid. Naina menerima tawaran itu.


Film ini mengantarkan aku untuk kilas balik pada akhir dekade 1980-an, yaitu sekolah SMPku. Sewaktu di SD, aku termasuk murid dengan ranking utama. Nilai NEM juga bagus. Saya punya keyakinan bahwa mampu lulus dalam ujian masuk SMP negeri. Saat itu, penerimaan siswa baru masih dengan sistem ujian.
Akan tetapi bapakku, Erastus Sukiran, memutuskan bahwa aku harus mendaftar di SMP BOPKRI Wonosari, tempatnya mengajar. Sebagai anak, saya pun taat. Saya tidak ikut ujian masuk sekolah negeri tapi langsung mendaftar di sekolah luar negeri, maksudnya sekolah swasta itu.
Singkat kata, saya memiliki teman sekelas yang kebanyakan adalah ‘buangan’ dari siswa yang ditolak di sekolah negeri. Ada perasaan kecewa dan rendah diri di antara mereka. Untuk membesarkan hati mereka, pak Budiwiyono (almarhum), selalu memberikan kata-kata penyemangat untuk memotivasi kami. Dia mencontohkan dirinya, yang pernah menjadi supir truk dan bis malam. Namun dia pantang menyerah sehingga bisa meneruslan studi hingga akhirnya diterima sebagai guru.
Film ini juga mengingatkan aku pada sosok guru di SMP itu yang mengalami gejala yang sama. Setelah menonton film ini, saya baru tahu kalau itu disebut sindrom Tourette. Ketika serangan itu datang, mulutnya akan bergerak-gerak tak terkontrol. Dan itu bisa datang kapan saja, bahkan saat sedang mengajar. Biasanya beliau akan menutup wajahnya dengan buku jika serangan itu datang. Para murid dan sesama guru sebenarnya sudah tahu akan hal tersebut. Beberapa murid yang bandel memang kadang diam-diam menirukan ekspresi wajahnya ketika serangan datang. Namun sebagian besar murid dan sesama guru dapat memakluminya. Dan mungkin justri karena sindrom itu, beliau termasuk salah satu di antara guru yang masih melekat dalam ingatan kami.
Saya sungguh bersyukur atas keputusan bapak saya untuk mengharuskan saya bersekolah di BOPKRI, sebab di sekolah itu saya tidak hanya mendapat ajaran ilmu pengetahuan saja tetapi juga mengalami pertumbuhan spiritualitas.
Maka ketika saya mendengar ada sekolah BOPKRI yang ditutup, saya merasakan kepedihan. Saya baru saja mendapat info bahwa SD BOPKRI di Ponjong telah berhenti beroperasi. Saya sedih, tapi bingung mau berbuat apa.