Posted on

“Kita harus mengambil tindakan!”

“Ya, ketidak adilan ini harus diakhiri!”

“Betul. Mereka tidak boleh menindas kita terus-menerus!”

“Pokoknya. Pimpinan kita harus diganti!”

Kamar kos yang sempit itu menjadi riuh. Udara yang panas dan pengap seolah membakar orang-orang yang berjejalan di dalamnya. Sutikno tersenyum puas karena berhasil membakar semangat teman-teman sekerjanya. Mereka sedang membicarakan tindakan Pimpinan unit yang dirasakan sudah keterlaluan. Giyono mengaku jengkel karena dimarahi di depan orang banyak. Sinta mengeluh karena berkali-kali tidak diijinkan untuk pergi ke kamar mandi. Buang mengaku sering disuruh kerja lembur tanpa uang tambahan. Semua kekesalan karyawan ditumpahkan di kamar yang pengap itu.

Aku sebenarnya berasal dari unit lain dan tidak ada urusan dengan persoalan itu. Sekalipun aku tidak peduli pada masalah mereka, tak seorang pun akan menyalahkan aku. Lagipula, aku juga tidak begitu suka dengan Sutikno yang memprakarsai pertemuan itu. Dulu aku pernah berteman dekat dengannya. Tapi, aku menyadari bahwa dia berteman karena ada maksud tersembunyi. Itu sebabnya, perlahan-lahan aku menjauhi dia.

Aku ikut pertemuan itu karena punya hubngan baik dengan beberapa orang di unit ini. Istilah kerennya, kehadiranku di sini adalah sebagai dukungan moral. Aku berusaha menjaga jarak dan tidak terlibat dalam rapat senja itu. Aku hanya mengabadikan suasana pertemuan dengan kamera video yang baru saja kubeli.

“Kalau kita melakukan aksi, kita mungkin akan dipecat. Apakah kalian sudah siap menerima risiko itu?” kata Sutikno.

“Itu adalah bagian dari perjuangan,” kata Samboro bersemangat, “kalau kita tidak berani melakukan maka tidak akan ada perubahan.”

“Meskipun sudah berkeluarga, aku tidak takut kalau nanti dipecat,” timpal Rika.

“Baiklah, kalau begitu ayo kita rumuskan tuntutan kita,” ajak Sutikno bersemangat.

Rika mengambil buku tulis dari tasnya. Dia mencatat kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Sutikno. Teman-teman yang lain hanya manggut-manggut saja. Entah karena setuju, entah karena tidak tahu apa yang akan diusulkan. Hanya limabelas menit, rumusan tuntutan karyawan itu sudah selesai. Sutikno membacakan isinya dengan suara keras.

“Apakah ada yang keberatan atau ingin menambahi?” tanya Sutikno.

Aku melayangkan mata ke seluruh. Tidak ada yang member tanggapan. Suasana hening sejenak.

“Karena tidak ada yang bersuara, maka saya simpulkan semua setuju. Kalau begitu, silakan segera menandatangani tuntutan kita,” kata Sutikno.

“Tunggu dulu. Jangan ditandatangani dulu,”kataku menyela. Entah dorongan darimana, tiba-tiba aku menginterupsi pertemuan itu. Sutikno kelihatan hera, tapi memberi kesempatan padaku untuk berbicara.

“Menurutku, rumusan tuntutan itu masih lemah.,” ujarku.

“Maksudmu itu apa?” kejar Sutikno.

“Masih ada kata-kata emosional di dalamnya Contohnya, di situ ada tuduhan bahwa pimpinan kalian melakukan selingkuh. Apa kalian punya bukti? Kalau kalian menandatangani rumusan ini, kalian bisa dituntut secara hukum, lho!” jelasku. Kontan pertemuan itu menjadi gaduh. Orang-orang saling berbicara dengan teman di sampingnya.

“Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanya Samboro.

“Rumuskan tuntutan yang seobjektif mungkin. Pusatkan perhatian pada soal pekerjaan saja, jangan sampai masuk ke wilayah pribadi,” saranku sambil mematikan kamera video.

Mereka menganggu-angguk. Kelihatannya alasanku bisa diterima.

“Tapi kami ini buta hukum, Mas.Maklum, rata-rata hanya lulusan SMA,” sahut Buang.

“Kalau begitu, mas Budi saja yang menyempurnakan rumusan ini,” usul Sutikno sambil menunjuk aku.

“Lho, statusku di sini ‘kan cuma sebagai peninjau. Tidak bisa begitum dong!” sergahku.

“Satu-satunya yang sarjana yanga ada di ruangan sini cuma mas Budi” sahut Sutikno.

“Tapi aku cuma sarjana olahraga”

“Setidak-tidaknya pernah kuliah, to!”

Aku melihat teman-teman menatapku dengan mata penuh harap. Aku ingin menolak permintaan itu, tapi tak tega rasanya memupuskan harapan mereka.

“Baiklah, aku mau membantu,” jawabku dengan enggan. Mereka bertepuk tangan.

“Dengan catatan, aku ditemani dua orang di antara kalian untuk sama-sama merumukan tuntutan ini” cepat-cepat aku mengajukan syarat.

Peserta pertemuan menunjuk Sutikno dan Rika untuk mendampingi aku. Malam itu juga aku ajak mereka ke kamar kosku. Akan tetapi baru setengah jam merumuskan bersama, Rika pamit pulang karena harus menyiapkan makan malam keluarganya. Seperempat jam kemudian, Sutikno menyusul pamit pulang karena harus mengikuti arisan.

“Sudahlah, mas Budi yang rumuskan sajalah. Aku tinggal manut saja,” pesan Sutikno sebelum pulang. Malam itu juga aku selesaikan rumusan tuntutan itu.

—*—

Pagi-pagi benar, aku menunggu Sutikno di depan pintu gerbang pabrik. Begitu dia datang, dengan gaya spionase, diam-diam aku berikan kertas tuntutan kepadanya. Aku lalu berjalan sewajar-wajarnya melewati pos satpam. Anehnya, aemakin berusaha berjalan wajar, justru aku merasa semakin kikuk. Rasanya, perjalanan menuju ruang kerjaku terasa berkilo-kilo jauhnya.

Di ruang kerjaku sudah beredar isu akan ada demonstrasi karyawan. Teman-temanku sudah ramai membeicarakan isu itu. Ada yang mendukung, ada pula yang sinis. Aku hanya tersenyum sendiri, tapi sengaja tidak ikut bergosip. Takut kelepasan bicara. “Rupanya ada yang membocorkan aksi ini,” kataku dalam hati.

Pukul sepuluh, Sutrisno mengirim SMS: “Tx’s, Mas. Rumusan sdh kubaca. Istrht nanti kuedarkan tmn2 utk ditandatangani.” Aku menjawab singkat “Good luck. GBU.” Pukul 15.00, aku dan teman-teman satu unitku dipanggil menghadap pimpinan unit. “Saya baru saja dipanggil oleh oleh pemilik pabrik ini. Dia mendengar rumor bahwa akan ada demonstrasi karyawan. Saya ingin tahu, ada di antara kalian yang akan ikut dalam demosntrasi itu,” tanya pimpinan dengan wajah memerah. Semua karyawan terdiam. Aku hanya menunduk saja.

“Syukurlah. Tidak ada anak buahku yang terlibat. Soalnya, pemilik pabrik akan memecat karyawan yang menggerakkan demonstrasi ini. Sekarang kembalilah bekerja,” kata pimpinan. Aku kembali ke meja kerjaku. Tiba-tiba ada SMS masuk.

“Sluruh unitku dipanggil utk menghdp big bos,” tulis Buang. “Inilah kesempatan mereka untuk menyampaikan tuntutan secara langsung ke pemilik perusahaan,” bantinku sambil mematikan komputer. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi kerja lagi. Aku heran dengan gerak cepat pemilik pabrik ini. Darimana mereka tahu rencana aksi ini? Mengapa mereka bisa segera mendeteksi adanya gejolak dalam pabrik ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk hingga malam hari. “Semoga pemilik pabrik bisa mengambil tindakan yang bijaksana,” harapku sambil membaringkan tubuh.

—*—

Keesokan paginya, seperti biasa aku mengambil kartu absen untuk dimasukkan ke mesin absensi. Akan tetapi pagi itu, kartuku tidak ada. Aku cari-cari kemana-mana, tidak kutemukan juga. Aku lalu mendatangi satpam.

“Pak, kartu absesnku kok tidak ada?” laporku pada Satpam.

“Kartu mas Budi diambil oleh bagian Personalia. Saya dititipi pesan, supaya mas Budi segera menghadap Direktur Personalia,” jawab Satpam.

“Ada apa ini?” tanyaku dalam hati. Biasanya, Direktur Personalia memanggil karyawan karena karyawan itu sering terlambar kerja. Selama ini, aku tidak pernah terlambat masuk kerja.

“Silakan duduk,” kata Direktur Personalia sambil membuka laci mejanya.

“Mengapa Bapak memanggil saya,” tanya saya.

Direktur Personalia menyorongkan amplop dan selembar kertas bermeterai.

“Pemilik pabrik meminta Budi supaya mengundurkan diri. Amplop ini berisi uang pesangon dan fasilitas-fasilitas lain yang menjadi hak mas Budi. Silakan tanda tangani surat pengunduran diri ini,” katanya sambil menyodorkan ballpoint .

Darahku tersirap. “Apa-apa ini?!! Apa salah saya, Pak?!!,” tanyaku.

“Pemilik pabrik tidak senang dengan cara kerja mas Budi,” jawabnya.

“Maksudnya, bagaimana?!!”

“Sudahlah, tidak usah bersandiwara lagi, deh. Kami sudah tahu kok kalau Anda menjadi provokator sehingga terjadi gejolak di pabrik ini,” jawab Direktur Personalia dengan wajah sinis.

“Jangan sembarang menuduh ya! Kalau tidak punya bukti, saya bisa menuntut Anda!” sahutku dengan suara tinggi. Perasaanku tidak karuan. Seluruh tubuhku bergetar.

Mendapat gertakan seperti itu, dia menjadi keder juga. “Mak..mak…maksudnya begini lho, Mas. Kemarin sore pemilik pabrik memanggil Sutikno, Buang, Reka, Samboro dan teman-teman satu unit mereka. Beliau menanyakan apakah benar unit itu akan melakukan demo,” jelas Direktur Personalia.

“Apa jawaban mereka?”

“Mereka mengaku sebenarnya tidak ingin melakukan demonstrasi. Mereka ingin bekerja dengan tenang. Tapi mereka merasa dipanas-panasi terus oleh seseorang.’

Aku membayangkan seseorang yang mungkin telah memanas-manasi mereka.

“Pemiliki pabrik telah bersumpah akan memecat karyawan yang menjadi provoktor masalah ini,” lanjutnya.

“Lalu apa hubungannya dengan saya?”

“Ya, Anda itu provokatornya!!” seru Direktur Personalia sambil menunjuk hidungku.

Aku bangkit dari kursi. Kemarahanku meluap.

“Apa buktinya, sehingga Anda berani menuduh saya sebagai provokator?!!

” Sutikno, Buang, Reka, Samboro dan seluruh teman-teman satu unit itu menunjuk Anda sebagai provokator aksi ini. Mereka malah mengatakan bahwa Anda yang menuliskan surat tuntutan ini,” kata Direktur Personalia sambil membuka map dan menyodorkan isinya. Aku terkejut melihat fotokopi surat tuntutan dalam map itu. Bagaimana caranya surat itu sampai di tangan bagian Personalia.

“Mereka merasa akan dijerumuskan oleh Anda. Karena itulah mereka menolak menanda-tangani surat tuntutan ini. Sekarang butuh bukti apa lagi? Apa seluruh unit itu permu saya panggil untuk bersaksi?” tantang Direktur Personalia.

Ditantang begitu, aku kemarahanku meledak.

“Oke, saya juga punya bukti yang kuat,” kataku sambil membuka tas kerjaku. Untunglah, aku selalu membawa kamera videoku. Aku akan memutar lagi rekaman rapat itu supaya dia tahu siapa yang sesungguhnya menggerakkan aksi ini. Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depanku. Aku membayangkan anak-anak dari karyawan di unit itu yang menangis kelaparan karena orangtua mereka dipecat . Aku mengurungkan niatku. Biarlah satu orang saja yang menjadi korban.

Direktur Personalia heran melihat perubahan sikapku. Aku mengambil amplop, lalu menyahut bollpoint dari tangan Direktur Personalia dan……. sreeet….sreeet…sreeeeett

Lembah kapur, 11 April 2005

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *