Posted on

Catatan Pinggir Pembaca “The Da Vinci Code”

Sakit gering seminggu memberi saya kesempatan untuk membaca buku “The da
Vinci Code” versi bahasa Inggris, pinjaman pak Xavier. Sejak dari awal,
lembar-lembar buku ini langsung menyedotku masuk ke dalam pusaran misteri.
Dibuka dengan adegan pembunuhan terhadap seorang Kurator museum Louvre,
pembaca diajak untuk memecahkan kata-kata sandi yang sengaja ditinggalkan
oleh korban pembunuhan. Kata-kata sandi ini selanjutnya akan mendominasi
sebagian besar cerita dalam novel ini.

Pada intinya, buku ini menceritakan tentang perburuan Cawan Suci dan tentang
kuburan Maria Magdalena. Selama berabad-abad, orang-orang mencari dan
memburu sebuah Cawan yang konon digunakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir.
Ada banyak buku ditulis, ada banyak teori dilepaskan sehubungan dengan
keberadaan Cawan Suci ini. Dan Brown mempunyai keyakinan bahwa sehubungan
dengan Cawan Suci itu, pertanyaan yang tepat untuk diajukan bukanlah
“dimana?”, melainkan “apa/siapa?” Cawan Suci.

Berangkat dari pertanyaan ini, penulis kemudian merangkai sebuah “teori”
menggunakan pendekatan simbologi, bahwa Cawan itu merupakan simbol dari
sebuah wadah dari darah yang tercurah. Namun bukan dalam pengertian darah
penderitaaan Kristus, seperti yang dipahami gereja saat ini, melainkan darah
keturunan Yesus. Dengan kata lain, Cawan itu merupakan wadah atau rahim yang
menerima curahan darah Kristus. Dan yang menjadi sang “Cawan” itu adalah
Maria Magdalena. Lebih tegasnya, Maria Magdalena mengandung bayi keturunan
Yesus!

Rahasia ini disimpan rapat-rapat oleh sebuah organisasi rahasia yang bernama
Priory of Sion. Organiasasi yang berdiri sejak 1099 ini beranggotakan
orang-orang yang cukup ternama seperti Sir Isaac Newton, Sandro Boticelli,
Victor Hugo dan Leonardo da Vinci. Orrganisasi ini telah bersumpah untuk
menjaga rahasia ini dan akan dibeberkan pada umum pada saat yang tepat. Jika
rahasia ini benar-benar dibongkar maka iman kekristenan akan mengalami
dekonstruksi besar-besaran. Itu sebabnya, gereja [Katolik] berusaha sekuat
tenaga mencegah penyingkapan rahasia ini. Demikianlah, penulis meramu
pertarungan di antara dua kelompok ini menggunakan isu konspirasi dan
permainan kata-kata sandi sehingga menciptakan suspensi hingga bagian akhir.

Cerita dalam buku ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Saya menduga
penulis sengaja mengkombinasikan ide “Cawan Suci” dari film Indiana Jones,
dengan ide “Pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena” dalam film The Last
Temptation of Christ. Selain itu film Stigmata kemungkinan besar juga
mengilhami penulis untuk mengambil ilham dari injil-injil apokrip sebagai
bahan penulisan. Penulis mengutip isi injil apokrip Maria Magdaleda dan
injil Filipus [bukan surat Paulus kepada Filipus]. Disebutkan bahwa
murid-murid Yesus merasa iri karena Guru mereka lebih menyayangi dan memberi
kepercayaan yang lebih besar kepada Maria Magdalena daripada kepada
murid-murid yang lain. Berdasarkan literasi ini, penulis kemudian membuat
sebuah spekulasi bahwa Yesus memberi mandat secara khusus kepada Maria
Magdalenda. Bahkan lebih jauh lagi, memiliki keturunan dengan wanita dari
suku Benyamin ini.

Klaim ini memang dapat membuat gereja menjadi panas-dingin. Namun mengingat
bahwa karya kreatif ini masih berada di dalam ranah fiksi, maka kita dapat
bernapas lega. Kita tidak boleh menelan fakta itu mentah-mentah. Meskipun
penulis telah melakukan riset yang mendalam, namun kita tidak dapat
menganggap tulisan ini sebagai sebuah karya ilmiah.

Di sisi lain, ada beberapa sisi positif yang dapat kita petik dari buku ini.
Pertama, tentang kritikan terhadap budaya patriakhi yang masih melekat dalam
struktur gereja. Dan Brown menuliskan beberapa praktik-praktik di dalam
gereja, khususnya gereja Katolik Roma yang meminggirkan peran perempuan.
Brown menduga proses marjinalisasi perempuan ini berakar dari teologi
penciptaan dimana Hawa [perempuan] dituduh sebagai biang dari kejatuhan
manusia ke dalam dosa.

Di sisi lain, kepentingan politik gereja turut pula melanggengkan struktur
yang timpang. Diceritakan bahwa pada masa kaisar Konstantin, gereja
mengalami perkembangan yang luar biasa meskipun mendapat tekanan yang berat
dari penguasa. Di sisi lain, Konstantin merasa bahwa pengaruhnya di kalangan
kaum pagan mulai memudar. Menyadari hal ini, Konstantin mengambil langkah
drastis yaitu dengan merangkul “emerging forces” ini, dengan merasuk dan
mengumumkan agama Kristen sebagai agama negara.

Perubahan status ini mengubah wajah dan perilaku gereja dari kelompok yang
tertindas, menjadi kelompok yang menindas. Dengan kekuasaan yang besar dari
negara, gereja membasmi segala praktik spiritualitas yang dinilai sebagai
“penyembahan berhala”. Gereja juga mendefinisikan simbol-simbol kaum pagan
dengan memaknainya sebagai simbol Setan. Sebagai contoh, simbol pentagram
atau bintang bersegi lima merupakan hasil kearifan indegenous people atas
harmoni yang ada di dalam semesta. Namun secara sepihak gereja mengumumkan
simbol bintang sebagai lambangan setan. Alasannya, simbol bintang itu mirip
kambing bertanduk (jika salah satu ujungnya menunjukkan lurus ke bawah).

Yang menarik, spiritualitas yang dikembangkan kaum pagan bersifat feminisme
[yang dimaksud pagan di sini, bukan dalam pengertian sempit “penyembah
berhala” atau ‘orang kafir”, melainkan spiritualitas lokal yang sudah lama
berkembang sebelum masuknya agama Kristen]. Di kalangan kaum pagan,
kelompok perempuan menduduki posisi yang cukup signifikan. Di sisi lain,
gereja didominiasi kaum laki-laki karena gereja tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat Yahudi yang patriakhal. Ketika gereja memiliki kekuasaan
besar pada masa Konstantin, maka gereja melakukan penggusuran terhadap
spiritualitas pagan yang feminis.

Gereja tidak hanya melakukan pemaknaan secara monolitik terhadap simbol
saja. Gerja bahkan melakukan upaya yang sistematis untuk melanggengkan
hegemoni patrakhi ini. Pada saat itu, gereja mengeluarkan dokumen berjudul
“Malleus Maleficorum”. Dokumen ini berisi petunjuk dalam mencari dan
membasmi dukun wanita. Dalam buku petunjuk ini, dukun-dukun bayi juga harus
ikut dibasmi karena dituduh telah menggunakan pengobatan penghilang rasa
sakit dalam proses persalinan. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran dosa.
Menurut gereja, rasa sakit persalinan adalah salah satu hukuman dosa yang
harus ditanggung perempuan akibat dari perbuatan dosanya. Dalam genosida
selama 300 tahun, gereja sudah membakar sekitar lima juta dukun perempuan!
[Bandingkan dengan genosida terhadap suku Tutsi di Rwanda yang korbannya
“hanya” satu juta orang].

Manfaat kedua, kita dapat menyadap ilmu kepenulisan dari Dan Brown. Salah
satu kekuatan Brown adalah deskripsi yang sangat detil. Dengan piawai, Bown
mampu menghadirkan benda itu seolah-olah ada di hadapan pembaca. Kita
seolah-olah pernah berada di museum Louvre, ada di dalam kastil milik
Teabing, dapat meraba Keystone dll, menatap lukisan Monalisa dan Perjamuan
terakhir. Semua itu hanya dapat dilukiskan dengan presisi tentunya jika
Brown memiliki data yang lengkap dan akurat. Dalam hal ini Brown telah
mengerjakan PR dengan baik. Dia telah melakukan riset dan mengumpulkan
data-data yang akan mendukung tulisannya. Meskipun buku ini berupa fiksi,
namun di dalamnya kita mendapatkan informasi faktual yang cukup akurat.

Untuk mengikat minat pembaca, Brown menggunakan teknik suspens yang acapkali
dipergunakan oleh pembuat acara-acara TV. Dalam program TV, pada akhir
setiap segmen biasanya dilemparkan “clue” segmen berikutnya, sebagai
gula-gula supaya penonton tetap pada saluran tersebut sebelum memasuki jeda
iklan. Teknik yang sama digunakan penulis dengan menampilkan sepotong
misteri atau elemen kejutan di bagian akhir setiap bab. Dengan demikian,
pembaca akan terikat dan larut di dalam alur cerita dari awal hingga akhir.
Teknik ini membutuhkan daya kreativitas dan imajinasi yang tinggi karena
penulis dituntut menciptakan sesuatu yang tidak diduga oleh pembaca.

Patut diakui, beberapa bagian dalam buku ini memang cukup kontroversial.
Meski begitu, buku ini dapat membuka wawasan kita bahwa gereja pernah
menyimpan sejarah kelam. Dengan membaca buku ini kita dapat mengambil
pelajaran bahwa jika entitas agama berselingkuh dengan entitas politik, maka
hasilnya adalah sebuah kekuasaan eksesif yang tak terkontrol. Pemegang
kekuasaan memiliki otoritas yang besar karena mengklaim mendapat kekuasaan
dari Tuhan dan berhak mendefinisikan makna atas segala sesuatu secara
sepihak. Semuanya demi nama Tuhan.

Meski begitu, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa tidak ada gereja
yang sempurna di dunia sebelum kedatangan Kristus. Itulah sebabnya, buku ini
patut kita jadikan cermin refleksi atas perjalanan kehidupan. Saya memiliki
keyakainan, beberapa isu dalam buku ini yang menyerang gereja tidak akan
mampu melemahkan gereja. Ini bukan pertama kalinya gereja mendapatkan
serangan seperti ini. Dan seperti biasanya, berkat kasih karunia Allah,
gereja masih dapat bertahan sampai sekarang. Meski begitu, gereja sebaiknya
juga tidak membutakan mata dan menulikan telinga. Dunia sedang mengalami
perubahan yang cepat. Gereja harus mampu merespon perubahan ini dengan
melakukan perubahan. Bukan untuk ikut dalam arus perubahan, tetapi menjadi
agen perubahan yang mempengaruhi dunia sehingga semakin banyak orang yang
mengenal Kristus.[Wawan]

Judul Buku : The Da Vinci Code

Penulis : Dan Brown

Penerbit : Corgi Books

Tahun : 2004

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *