Posted on

Salah satu tulisan yang diposting ke situs http://www.sabdaspace.org/ mengupas buku saya:
“Tuhan Yesus Tidak Tidur, 100 Renungan Tentang Hikmah di Balik Musibah”. Tulisan itu diberi judul: “SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU”. Berikut isi tulisan itu:

Sumber:http://www.sabdaspace.org/saya_tidak_suka_buku_itu

Tanpa mengurangi rasa hormat, SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU. Bukan karena pengarangnya salah satu blogger di Sabdaspace – Komunitas Blogger Kristen, juga bukan karena 100 renungannya, apalagi karena 16 cara mati ketawa ala penyintas gempa. Saya tidak suka buku itu karena harganya amat sangat terlalu murah, Rp. 25.000,- (Dua puluh lima ribu rupiah). Saya tidak tahu, siapa yang menentukan harga jual buku itu yang amat sangat tidak masuk akal. Saya tetap beli buku itu walau sangat tersinggung dengan harganya yang hanya dua puluh lima ribu saja. Kalau saja harga buku itu boleh ditawar, maka saya pasti akan menawar untuk membeli dengan harga 2 kali lipatnya.

Dengan asumsi royalti bagi penulis adalah 10% dari harga jual, maka setiap buku yang terjual akan memberi kesempatan kepada pembelinya untuk berbuat baik dengan harga Rp. 2.500,- (Dua ribu lima ratus). Kesempatan untuk menolong orang lain harganya CUMA dua ribu lima ratus. Sungguh keterlaluan.

Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU. Karena sejak bab 1, “Ketika Bumi Berguncang” penulisnya sudah ngeledek pembacanya. Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta, sebagian besar pembaca mendengarnya dari radio dan menontonnya di televisi seolah itu adalah kisah dari antah brantah dalam sebuah Film. Inilah yang ditulis oleh pengarang buku itu,

“Gempa bumi!” batin saya. Saya segera melompat dari tempat tidur dan meraih bayi kami. Namun, ternyata ia sudah lebih dulu digendong mamanya. Dengan perasaan yang takut dan kaki gemetar, kami menghambur keluar rumah.”

Lebih lanjut dia menulis,

Darah saya tersirap melihat kedasyatan kekuatan alam ini. Hampir semua bangunan di wilayah ini telah runtuh. Jumlah korban jiwa sangat banyak. Itu belum termasuk korban terluka. Begitu banyaknya korban terluka sehingga rumah sakit umum tidak bisa menampung lagi. Akibatnya, mereka terpaksa dibawa ke rumah sakit jiwa.
Seorang warga berkisah, waktu gempa terjadi ia sudah ada di sawah. Ketika melihat ke arah perkampungan, ia menyaksikan rumah-rumah yang roboh secara bergelombang. “Seperti ada ular yang bergerak di bawah tanah,” katanya memberi kiasan.

Saudara, bukankah dia sedang meledek kita? Bukankah TV menyiarkan, setelah gempa melanda Yogyakarta, maka rakyat Yogya bersuka cita karena dapat bertemu, bersalaman dan berfoto dengan artis dan aktor pujaan mereka lalu wajahnya ditonton oleh para pemirsa dari seluruh Indonesia bahkan negara tetangga?

Aisyah namanya. Saat gempa terjadi, bayi yang masih merah ini masih berusia lima hari. Guncangan di pagi hari itu merobohkan rumah orang tuanya. Ibu bayi ini meninggal karena tertimpa runtuhan tembok. Sedangkan Slamet, bapaknya mengalami retak di tulang selangkangan. Bayi Aisyah sendiri sempat terkubur dalam puing-puing rumah. Neneknyalah yang dengan sekuat tenaga mengorek-ngorek timbunan reruntuhan sampai akhirnya bisa menyelamatkan cucunya itu.

Pak Slamet sempat dirawat di rumah sakit, tetapi dipulangkan karena tidak mampu membayar biaya. Sedangkan bayi Aisyah yang masih lemah ini dirawat di tenda darurat yang serba memprihatinkan, dengan sanitasi yang buruk.

Saudara, setelah Aisyah berhasil diselamatkan oleh neneknya dan dirawat di tenda darurat tanpa menyadari bahwa ibunya TELAH MATI, di Jakarta beredar SMS di antara orang Kristen yang isinya kurang lebih begini, “ PUJI TUHAN, setelah didoakan, akhirnya pusat alam roh Indonesia hancur berantakan dan Tuhan menyatakan kuasaNya. Inilah kesempatan bagi kita untuk memberitakan Injil.”

Salah seorang teman saya bahkan bersaksi lewat telepon tentang penglihatan yang dia peroleh dari Tuhan. Dia menyatakan bahwa bencana Yogyakarta, bahkan bencana Tsunami di Aceh tidak seberapa. Akan terjadi lagi bencana yang lebih besar di mana korbannya lebih dari 500.000 jiwa. Itulah cara Tuhan melampiaskan kemarahanNya karena bangsa ini menolak Injil. Selain teman itu, masih banyak SMS lain yang beredar saat itu di kalangan orang Kristen.

Ketika membaca Prakata buku itu, saya senang karena isinya bukan hanya kisah-kisah di Yogyakarta selama dan setelah gempa bumi, ada kisah lainnya. Namun, untuk terakhir kalinya, tanpa mengurangi rasa hormat, SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU karena kisah-kisah lainnya. Berikut ini salah satu kisahnya.

Mas Mono, seperti pemuda lain di desanya, ingin mengejar mimpi hidup sukses ke kota. Ia mendapat pekerjaan sebagai tukang las. Namun naas, teman kerjanya melakukan keteledoran. Temannya menyenggol batang besi yang menyebabkan kabel listrik bertegangan sangat tinggi menggeliat dan menyetrum tubuh mas Mono. Akibatnya, selain mengalami luka bakar tingkat tinggi, mas Mono juga harus merelakan kedua lengannya diamputasi, di batas pergelangan tangannya.

Mimpi sukses itu pupus sudah. Dengan hati hancur, mas Mono pulang ke desanya. Sedih, bingung, putus asa, marah, ingin berontak. Perasaan itu berkecamuk dalam dirinya. Selama setahun mas Mono dirundung duka. Setiap kali mendapat perkunjungan dari anggota gereja, mas Mono lebih suka mengurung diri dalam kamar. Namun malam harinya, mas Mono keluar rumah. Ia tidur di kuburan desanya!

Hingga suatu ketika, mas Mono menghilang. Tentu saja keluarganya kebingungan mencarinya. Dua minggu kemudian, ia muncul lagi. “Kemana saja kamu?” tanya kakak perempuannya. “Ke Bali, mbak,” jawab Mono santai.

Sejak saat itu, mas Mono mulai berubah. Ia mulai belajar naik sepeda. Sebelumnya ia memang sudah bisa mengendarai sepeda. Namun dengan lengan yang buntung dan kaki yang pincang, ia harus menyesuaikan diri lagi.

Saudara-saudara, tolong saya, apa hebatnya kisah mas Mono? Tidak ada kuasa sama sekali! Tidak ada mujizat sama sekali! Coba anda bayangkan bila mas Mono bersaksi di atas mimbar dengan tampang desanya dan logat Jawa medoknya,

“Saudara-saudara karena kelalaian teman saya, maka saya kehilangan kedua telapak tangan saya dan kaki saya menjadi pincang. Karena kejadian itu, setelah putus asa selama setahun, saya bangkit lagi dan mulai belajar naik sepeda.”

Oh my God! Sipincang tanpa telapak tangan bersaksi di mimbar-mimbar gereja tentang usahanya belajar naik sepeda? Mana KUASA Tuhan? Mana MUJIZAT Tuhan?

Saudara-saudara terkasih, tolong jangan beli buku itu. SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU, tidak ada MUJIZAT di dalam buku itu. Tidak ada KUASA dalam buku itu. Tidak ada SUARA TUHAN yang berbicara langsung kepada manusia di dalam buku itu. Itu bukan buku tentang para PEMENANG, itu hanya buku yang menceritakan tentang orang-orang yang BERTAHAN hingga akhir pertandingan.

Saudara-saudara yang terkasih, TOLONG, jangan beli buku itu. SAYA TIDAK SUKA BUKU ITU! Sekali anda membelinya, mustahil anda tidak membacanya, sekali anda membacanya, maka percayalah, anda tidak akan mampu bermimpi lagi bahwa:

Bila berdoa dan yakin bahwa Tuhan akan menjadikan anda orang baik, maka anda akan terbangun di pagi hari dan langsung menjadi orang baik.

Bila berdoa dan yakin bahwa Tuhan akan menjadikan anda orang pinter, maka anda akan terbangun di pagi hari dan langsung menjadi orang pinter.

Bila berdoa dan yakin bahwa Tuhan akan menjadikan anda orang kaya, maka anda akan terbangun di pagi hari dan menemukan harta berlimpah.

Karena buku itu hanya mengajarkan anda untuk menjadi orang Kristen seperti yang diajarkan Alkitab.

Diambil dari situs Sabdaspace. Sumber asli:http://www.sabdaspace.org/saya_tidak_suka_buku_itu

===================

Berikut komentar atas tulisan ini pada blog yang sama (komentar yang tidak relevan sudah saya hapus):

Dikirimkan oleh NoSID pada Sab, 2008-01-26 20:08

Hai-hai pake jurus

Psikologi Anti Marketing, bung Denis juga saya yakin paham jurus ini semoga bukunya laku ya Pak Purnawan
———-
Kopi Iseng:
lagi..lagi.. Hai-hai nulis sesuatu yang bikin orang cengar-cengir sambil ck..ck..ck dan geleng-geleng kepala. Tulisan blogger lain bak lukisan lembut indah dan penuh rangkaian bunga, kalau Hai-hai Lukisan Besar,Abstrak,Kasar, dan bermakna tajam.
ada cerita, suatu hari C_Gutz ngajak Chetzy untuk melihat suatu pameran lukisan di Bali, pameran lukisan tersebut memuat lukisan-lukisan yang baru dan nyentrik. setelah berkeliling cukup lama, Chetzy tiba-tiba menatap tajam C-Gutz sambil berkata
“Kamu jauh-jauh mengajak saya kesini hanya untuk melihat coretan-coretan sampah ini !!, lebih baik kita dari tadi makan siang yang enak”

Chetzy terus ngomel masalah lukisan tersebut selama perjalanan pulang. Esoknya di kantor, Chetzy melihat BKO dan C_Gutz lagi ngerumpi, lalu Chetzy mau cerita soal pameran lukisan jelek,
BKO yang sudah tahu dari C_Gutz langsung nyela
“Kamu bilang gak suka pameran lukisan kemarin, tapi kenapa kamu tidak pernah berhenti ngmongin hal itu, sejak pertama kamu melihatnya”
sampai sekarang Chetzy masih inget lukisan itu tidak peduli dia suka atau tidak
**cerita diatas saya ‘curi’ dan edit dari buku Whatever You Think,Think The Opposite karya Paul Arden
untuk suatu karya yang segar dan baru, kita tidak boleh berharap untuk langsung menyukainya, karena tidak memiliki perbdandingan terhadap karya tersebut.

Seni yang baik mengkomunikasikan dirinya sendiri, itu tidak berarti harus disukai untuk suatu karya seni yang baru dan segar, cobalah membentuk opini kita sendiri, dengan demikian kita bisa menjadi kritikus murni, bukan perpanjangan lidah opini orang lain

———————————————————————————————————

COME HELP CHANGE THE WORLD!

Dikirimkan oleh hai hai pada Mgu, 2008-01-27 00:05

Sebenarnya pak Purnawan bukan penulis asing buatku, aku punya dua buku tulisannya tentang permainan. Sejak melihatnya jualan di pasar Klewer aku sudah menunggu, kapan dia menerbitkan bukunya lagi. Tulisannya khas seorang jurnalis, informatif namun selalu menyisakan ruang bagi pembacanya untuk menarik kesimpulan sendiri. Ibarat kotbah, gaya tulisan demikian adalah gaya kotbah para pendeta dari GKI (Gereja Kristen Indonesia), GKJ (Gereja Kristen Jawa) dan pastor di Gereja Katolik. Ibarat pelukis, tulisan pak Purnawan adalah aliran naturalisme.
Keistimewaan tulisan pak Purnawan adalah gaya bahasanya yang sederhana dan tunggal makna, artinya para pembacanya tidak diberinya kesempatan untuk menafsirkan kalimat bahkan kata yang ditulisnya. Ibarat musik, maka tulisan Pak Purnawan adalah jazz fusion, terasa enteng dan enak ketika didengar begitu saja, namun ketika disimak lebih mendalam, wow … para jazzer pasti tahu apa maksudku. Keistimewaan lainnya adalah kesederhanaan thema yang ditulisnya. Di antara para blogger Sabdaspace saat ini, menurut saya hanya pak John Adisubrata yang dapat menandingi semua keistimewaan tulisan pak Purnawan. Pak Purnawan, mungkin tanpa disadarinya sangat terpengaruh oleh musik gending-gending jawa, sedangkan Pak john, mungkin terpengaruh oleh bakat kartunisnya. Dari keduanya muncul tulisan-tulisan yang selalu menyisakan ruang bagi para pembacanya untuk menarik kesimpulan.
Itulah informasi tambahan mengenai tulisan Pak Purnawan. Jangan berharap saya mengutip terlalu banyak tulisannya, bisa-bisa anda tidak jadi membelinya nanti dan saya dituduh plagiat.
Nosid, kamu salah, saya tidak sedang mempromosikan buku pak Purnawan sama sekali. Saya hanya menuliskan unek-unek saya. Semoga pak Purnawan cukup berbesar hati dan tidak menuduh saya sedang menghakiminya. Kalaupun dia marah, apa boleh buat, pembeli itu raja kan?
—————————————————————————–

ooh jurus anti marketing tohh
Dikirimkan oleh Tiyo (tidak/belum diverifikasi) pada Mgu, 2008-01-27 10:30
kirain hai2 serius.. saya ampir kemakan provokasinya.. abis dia sering nge-kick buku/tulisan org laen sih, haha
———————————————————————-
promosi dengan cara berbeda
Dikirimkan oleh josh putra pada Sab, 2008-01-26 23:18
ah saya rasa ko haihai sedang promosi buku itu tapi dengan cara yang berbeda….
kalo kita beli kaset/cd sering kali lagu barunya 2/3 saja, selebihnya untuk menuhin durasinya.
kalo saya jadi penulisnya juga akan melakukan hal yang sama… maklum kejar setoran, 10 cerita mungkin bagus sekali tapi kurang berdaya beli, kalo judulnya pake 100 kan lebih greget.
———————————————————————————————————–
100 Kisah Indah dan 16 Mati Ketawa Ala Penyintas
Dikirimkan oleh hai hai pada Mgu, 2008-01-27 00:09
Josh, di dalam buku tersebut memang genap 100 kisah indah dan 16 mati ketawa ala penyintas. Namun yaitu, seperti yang saya kutip. Semua kisah-kisah itu hanya akan mengajarkan para pembacanya untuk menjadi Orang Kristen seperti yang diajarkan Alkitab.

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *