Posted on

Hari ini (Jumat, 18/4), saya mengunjungi Museum Anak “Kolong Tangga” di Taman Budaya Yogyakarta. Di tempat ini dipamerkan ratusan mainan anak-anak sejak zaman Majapahit, hingga zaman modern.


Melihat-lihat isi museum seolah-olah dibawa oleh mesin waktu kembali masa kecil saya. Mainan yang dipajang mengingatkan kembali akan masa kanak-kanak. Mainan dalam foto ini contohnya.Di kampung saya, mainan kapal ini sering dijual pada pertunjukan wayang kulit. Bahannya terbuat dari seng . Cara mainnya adalah dengan menuangkan minyak kelapa pada kapas, kemudian dibakar dan dimasukkan ke dalam kapal mainan tersebut. Jika sudah panas, maka akan terdengar bunyi klotok-klothok dan kapalnya bergerak sendiri.

Kali ini saya akan menurunkan tiga tulisan: (1) Makanan Masa Kecil; (2) Alat Permainan Masa Kecil; (3) Dolanan Anak.

Pada bagian pertama ini, saya ingin mengenang makanan ketika saya masih kecil. Karena hidup di wilayah yang cukup gersang, kami justru mengembangkan berbagai jenis makanan yang bervariasi.

1. Thiwul

Pada zaman dahulu, Gunungkidul memang pernah dikenal sebagai wilayah yang kekurangan pangan. Karena beras susah didapatkan, maka warga Gunungkidul mengkonsumsi thiwul, yaitu makanan yang berbahan pokok ketela pohon. Cara pengolahannya, ketela pohon dikupas, kemudian dijemur hingga kering. Namanya gaplek.

Gaplek ini dapat disimpan secara berbulan-bulan. Cara memasaknya: gaplek ditumbuk hingga menjadi tepung, kemudan diberi sedikit air dan digoyang-goyang di atas tampah. Jika sudah terbentuk gumpalan-gumpalan kecil, kemudian dikukus menggunakan kukusan dan dandang yang terbuat dari kuningan. Jika sudah masak maka disebut nasi thiwul.

Cara makan thiwul yang enak adalah dengan ikan asin, sambal bawang dan lalapan biji mandhing (lamtoro). Selain sebagai makanan pokok, thiwul juga dapat dijadikan sebagai camilan. Caranya dengan menambahkan parutan kelapa muda. Cara ini disebut dikrawu. Bisa juga dengan menambahkan gula, sehingga terasa manis.

Selain nasi thiwul, gaplek juga dapat menghasilkan gathot. Gaplek yang berwarna keitam-hitaman tidak cocok jika dijadikan nasi thiwul. Daripada dibuang, maka gaplek jenis ini dapat dijadikan gathot. Caranya cukup dengan dikukus, kemudian dimakan dengan parutan kelapa atau dibikin manis.

Selain thiwul, kami juga mengkonsumsi jenis pangan non beras lainnya seperti nasi jagung, nasi cathel (sorgum), dan nasi jawawut. Kebutuhan karbohidrat juga terpenuhi dari umbi-umbian. Sejauh yang saya ingat, jenis umbia-umbian yang sering dikonsumsi adalah uwi, gembili, gadhung, suwek, ubi rambat, garut, ganyong dan bentul.

Kalau Anda ingin mencicipi makanan jenis ini, datanglah ke kampung saya pada waktu upacara Gumbrekan. Upacara ini berupa doa untuk memohon perlindungan untuk alat-alat pertanian (garu, luku, cangkul, sabil dll) dan ternak. Sebagai sesajennya, para petani mengeluarkan makanan tradisional ini. Ini mirip hari raya Halowen. Pada malam hari anak-anak mendatangi setiap rumah petani. Pemiliki rumah mengeluarkan sesajen, mengucapkan doa, kemudian membagikan makanan itu pada anak-anak. Biasanya saya membawa pulang satu cething penuh aneka jenis makanan.

2. Serangga

Untuk memenuhi kebutuhan protein, maka kami menyantap serangga. Ada berbagai jenis serangga yang biasa kami makan. Yang paling sering diburu adalah belalang kayu. Hama tanaman ini rasanya seperti udang. Cara memasaknya bisa dengan cara dibakar saja, digoreng atau dibacem.

Dulu kami berburu belalang dengan membawa galah bambu yang dipakai untuk memukul belalang pada ranting pohon. Cara menangkap belalang paling mudah adalah setelah turun hujan. Karena sayapnya basah oleh air hujan, maka belalang cenderung terbang menurun, sehingga bisa kami sergap di atas tanah. Cara lainnya adalah dengan metode nyuluh. Pada malam hari kami membawa lampu petromaks. Lampu ini diletakkan di bawah pohon yang diperkirakan banyak bertengger belalang. Setelah itu kami menggoyang-goyang batang pohon itu sehingga belalang itu terbang. Secara naluriah, belalang akan terbang menuju sumber cahaya sehingga mudah ditangkap.

Jenis serangga lain yang juga diburu adalah Jangkrik. Namun rasanya tidak seenak belalang karena ada rasa getirnya. Cara memburuknya adalah membongkar batu-batuan. Tapi harus hati-hati karena bisa tersengat kalajengking atau dipatok ular.

Jika sedang beruntung, maka kami bisa mendapatkan Gondhing atau ratu rayap. Rasanya konon gurih, karena saya belum pernah mencicipi yang ini. Namun rayap yang berjenis laron juga sangat gurih. Biasanya muncul pada malam hari di awal musim hujan.

Kami juga memakan telur semut atau kroto. Cara memasajnya adalah dibikin pepes. Telur-telur semut dibumbui bawang merah dan garam, dibungkus dengan daun jati kemudian diletakkan di atas bara api.

Pada musim semi, kami juga berburu ulat pohon jati dan ulat pohon trembesi. Sebenarnya bukan ulat yang kami konsumsi, melainkan ulat yang sudah kepompong. Kalau melihat ketika masih menjadi ulat memang terlihat menjijikkan. Tapi kalau sudah menjadi kepompong, maka hewan ini dapat menjadi makanan yang lezat.

Yang terakhir, jangan lupakan juga olan-olan. Hewan sejenis ulat ini sering bersarang di pokok/pangkal pohon turi. Bentuknya putih, gemuk dan empuk. Kalau dipegang bikin geli.

3. Rujak Babal

Sebagai desert-nya atau makan penutup, ada sajian rujak babal (nangka muda)

Bumbu: bawang, garam, kencur, gula jawa, Lombok, terasi bakar.

Bahan: babal (nangka mudha), pace/mengkudu, ubi rambat mentah, daun pepaya mentah, lamtoro/mandhing yang masih muda, jambu mete.

Alat: Lumpang dan alu

Pertama-tama bumbu ditumbuk dalam lumping. Setelah halus, masukkan semua bahan rujak, kemudian tumbuk menjadi halus.

Kalau Anda baru pertama kali mencicipi rujak ini pasti akan kaget. Anda akan dibuat batuk-batuk. Ini adalah efek dari kombinasi jambu mete dan pedasnya lombok. Sekali mencicipi pasti ketagihan karena ada berbagai macam rasa yang unik. Selain pedas, asam dan manis, Anda juga dapat mencecap efek pahit dari daun pepaya dan rasa getir yang ditimbulkan oleh pace. Ada juga rasa sepat yang dihasilkan oleh nangka muda. Yang tak kalah seru adalah sensasi klethuk-klethuk dari pace dan ubi mentah ketika dikunyah [Purnawan Kristanto]

[Bersambung]

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *