Posted on

Meski sempat menyurut saat wabah penyakit sapi gila mendunia, namun bisnis makanan berbahan daging sapi tetap berkibar di Yogyakarta. Bahkan warung makan yang menawarkan menu dari iga sapi mendapat respons positif oleh masyarakat di kota gudeg ini. Di wilayah Deresan, tepatnya di sebelah selatan percetakan Kanisius, terdapat warung makan yang memajang nama unik. Mereka memplesetkan penyakit sapi gila (mad cow) menjadi “Cow Mad” alias “Penggila Sapi” sebagai penanda rumah santap ini. Tempatnya cukup asri. Ada bangunan pendopo jawa di bagian tengah yang tak berdinding di semua sisinya. Meja untuk tamu berupa meja kayu berbentuk empat persegi panjang dan tempat duduknya terbuat dari bangku kayu tanpa sandaran. Orang Jawa menyebutnya ‘dingklik.’ Aku dan isteri mampir ke sini setelah mencari buku di showroom Kanisius. Usai memesan makanan, aku segera membuka laptop untuk mencari koneksi internet sembari menunggu masakan disiapkan. Menurut promosi, katanya sih Wifi-nya gratis, tapi harus mendapat kata sandi dulu dari pengelola warung. Meskipun sudah mengantongi kata sandi, aku kesulitan untuk login. Meski sudah berkali-kali dicoba, tetapi gagal.Photobucket Untunglah masakan segera disajikan. Hanya kurang dari 10 menit. Ini tergolong cepat karena kami memesan dua porsi iga bakar dan cha kangkung ikan asin. Mungkin ini karena saat itu tidak banyak pengunjung yang memesan makanan. Selain kami, hanya ada dua orang yang sedang bersantap di sana. Setelah kami, lima mahasiswa datang belakangan. Aku menyisihkan laptop untuk berkonsentrasi pada makanan. Begitu garpu menyentuh iga bakar, dagingnya langsung terlepas, tanpa perlu dicongkel dengan keras. Dagingnya memang sangat empuk. Ketika dikunyah, mulut pun tidak perlu kerja keras untuk melumatkannya. Bumbunya begitu meresap sampai ke dalam. Aroma rempah-rempah tercium menggugah selera. Hidangan ini semakin mantap dengan ditemani teh rempah-rempah. Ya, selain teh, ditambahkan pula jahe, kapulaga, kayumanis dan berbagai bahan tradisional lain sehingga menciptakan efek hangat saat minuman ini melintasi tenggorokan dan perut. Selain di Cow Mad, kami juga berkesempatan mencoba menu iga bakar di warung “Iga Bakar.” Warung ini pernah diulas di harian Kompas Minggu. Itu sebabnya, ketika kami mengunjungi acara Pesta Kuliner di bekas hotel Ambarukmo, kami tertarik untuk mencicipinya. Kami memesan iga bakar madu, iga bakar BBQ dan sop iga. Kesan pertama yang tercipta adalah ukuran iga yang sangat besar. Di warung lain, daging yang masih menempel pada tulang iga terlihat sangat tipis. Namun di warung ini, daging yang masih menempel cukup tebal. Lebarnya hampir sama dengan telapak tangan perempuan dewasa. Komentar yang terlontar spontan adalah,”Wah gedhe banget. Apa bisa habis, nih!” kata kami.Photobucket Sama seperti di Cow Mad, dagingnya cukup empuk. Tidak dibutuhkan tenaga ekstra untuk mecongkel daging dari tulangnya. Menurut Kompas, rahasianya adalah pada waktu perebusan yang cukup lama. Sejak dari subuh, para pekerja di warung makan ini sudah merebus potongan iga selama berjam-jam. Ketika pesanan datang, maka mereka tinggal membumbui dan membakarnya di atas api untuk menciptakan efek gosong dan karamel. Kalau membandingkan dari sisi bumbu, secara pribadi aku lebih menyukai sajian Cow Mad. Pada warung Iga Bakar ini, yang dominan adalah rasa manis untuk iga bakar madu. Sedangkan pada iga bakar BBQ, hanya terpaut rasa asam saja. Rasa khas barbeque tidak ada sama sekali. Namun dari sisi ukuran potongan daging, warung Iga Bakar patut diacungi jempol. Sampai malam hari, kami tidak makan lagi karena perut masih sangat kenyang.Photobucket Selain di dua tempat ini, sebenarnya masih banyak warung lain yang menyajikan menu daging sapi. Di Ambarukmo Plaza, ada restorang Bakar Batu. Ciri khasnya adalah pada teknik pemanasannya. Konon menggunakan batu yang panas di dalam mematangkan daging. Namun aku tidak melihat ada perbedaan rasa dibandingkan dengan teknik pemanggangan di atas bara api. Kami mencoba resto ini karena terdorong oleh rasa penasaran. Kami teringat teknik serupa yang digunakan oleh salah satu suku di lembah Baliem, Papua. Apakah pemilik rumah makan ini terinspirasi dari suku ini? Entahlah. Seandainya benar, mestinya mereka menyisihkan sebagian dari keuntungan mereka untuk membayar royalti kepada suku di lembah Baliem ini. Ada juga warung makan bernama “Waroeng”dan “Obonk” yang juga menyajikan menu daging sapi. Kedunya termasuk pelopor dalam mengenalkan menu steak. Di warung inilah aku pertama kali mengenal dan mencecap sirloin dan tenderloin. Namun, jenis makanan yang membuat aku terkesan justru mayoines-nya. Rasanya gurih dan lembut.

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *