Posted on

Menjadi relawan tanggap bencana melatih saya untuk mengambil keputusan secara cepat dan juga berpikir nyleneh.

Cuaca hari ini (Rabu, 29 Nopember)lumayan terang. Matahari mengintip malu-malu di balik awan setelah selama 5 hari tidak tampak sama sekali. Siklon Cempaka yang berputar di samudera Hindia telah menyebarkan awan hitam yang sarat air. ketika itu ditumpahkan di tanah Jawa Tengah dan DIY, maka menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor. Tadi malam beredar kabar situasi di Gunungkidul yang cukup dramatis. Sungai Oya yang hampir melingkari kabupaten Gunungkidul meluap secara drastis. Permukaan air bahkan mencapai permukaan jembatan sehingga berbahaya untuk diseberangi. Bahkan beberapa jembatan dinyatakan ambrol. Situasi ini menyebabkan Gunungkidul nyaris terisolasi. Gunungkidul dinyatakan dalam situasi darurat.

Hal ini yang mendorong saya untuk  berkoordinasi dengan Agus Permadi, anggota tim tanggap bencana GKI Klatten.

“Berapa dana taktis yang masih kita punya?” tanyaku.

“Tidak banyak, tapi cukuplah untuk kita belanjakan bahan pokok,” jawabnya. Kami lalu sepakat untuk merespons banjir dampak dari siklon Cempaka ini.

Saya lalu kontak majelis gereja GKI Klaten dan mengumumkan rencana ini di grup WA dan di Facebook. Ternyata sambutannya cukup positif. Jemaat mulai mengirimkan barang-barang sumbangan. Ada yang menyumbang telur, biskuit, selimut, kue basah, minyak goreng, bumbu-bumbu, dll. Ada juga yang menyerahkan uang kas. Beberapa donatur dari kota lain juga mentransfer sumbangan.

Pukul 10, kami belanja kebutuhan pokok. Sebenarnya lebih tepat disebut mengutang karena kami mengambil barang lebih dulu. Pembayarannya dilakukan kemudian. Kami percaya, Tuhan akan menggerakkan para dermawan untuk menyumbang dana buat pembayaran utang dadakan itu.

Selepas makan siang, dua mobil mendaki perbukitan di Gunungkidul. Sasaran pertama adalah posko kemanusiaan di Watusigar. lokasinya ada di kawasan utara Gunungkidul. Ada 99 keluarga di wilayah Tambran yang terdampak. Mereka berada di seberang sungai Oya yang sedang meluap.

Usai menurunkan bantuan Cuaca yang cerah sejak pagi sampai siang hari telah menyurutkan genangan air sehingga jembatan di atas sungai Oya dapat dilintasi dengan aman.

Sasaran berikutnya adalah ke dusun Padangan, desa Banjarejo, kecamatan Tanjungsari yang ada di kawasan selatan dari kabupaten Gunungkidul.

Secara topografis, desa berada di sebuah cekungan yang dikelilingi oleh perbukitan. Air dari wilayah bukit menggenangi dusun ini. Di dusun ini sebenarnya terdapat luweng atau goa bawah tanah. Air yang menggenang biasanya langsung masuk ke dalam lobang di mulut luweng, jatuh ke dalam perut bumi dan mengalir sampai di lautan. Namun beberapa tahun terakhir, warga setempat memperkecil lobang di mulut luweng ini. Mereka khawatir lobang ini berbahaya bagi warga karena dapat terperosok ke dalamnya.

Kayaking

“Sebelumnya, saat mulut luweng masih lebar, jika air menggenangi maka tercipta pusaran air yang kuat. Kami takut pusaran ini dapat menghisap anak-anak muda yang sedang main kayak di dekatnya,” jelas pak Suratno, kepala dusun Padangan.

Itu sebabnya, mereka memutuskan untuk memperkecil mulut luweng. namun akibatnnya ketika air menggenang cukup banyak, maka air tidak cepat terserap ke dalam perut bumi. Wilayah tersebut tergenang air sampai ketinggian 30 cm.

Ada 58 keluarga yang terendam. Untuk sementara mereka mengungsi di rumah sanak-famili mereka yang tidak tergenang. Hari ini kami menyalurkan beras, mie instan, air dalam kemasan, biskuit, handuk, selimut, minyak goreng dan telur mentah.Selain rumah warga. banjir juga menggenangi SD BOPKRI Padangan sehingga kegiatan belajar-mengajar terpaksa harus diliburkan.

Kebetulan lokasi desa mereka hanya berjarak kurang dari 6 km dari pantai Drini. Ada warga yang menyewakan perahu kayak buat wisatawan di pantai. Selama bencana banjir ini, warga desa meminjam kayak untuk menjangkau tempat-tempat yang masih digenangi air yang cukup dalam.

SD Bopkri Padangan

Menjelang senja, gerimis mulai menitik dan kami pun pamitan. Dalam perjalanan pulang, seorang teman mengabarkan bahwa lembaganya masih merapatkan untuk memutuskan apakah akan menyalurkan bantuan atau tidak.

Saya tersenyum membacanya. Saya hanya membalas, “Dalam situasi tidak biasa, jangan bersikap biasa.” Prosedur dalam situasi biasa tidak cocok diterapkan dalam situasi tidak biasa. Dalam situasi biasa, sumbangan uang dikumpulkan lebih dulu, baru kemudian dibelanjakan barang-barangnya. Dalam kebencanaan, situasinya tidak biasa. Maka kami melakukan hal yang tidak biasa, yaitu mengutang barang-barang untuk bantuan lebih dahulu, baru kemudian mengumpulkan uang untuk membayarnya. Sebab jika kita ngotot menggunakan cara biasa, barangkali sudah sangat terlambat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *