Posted on

Ada seorang ibu yang menilai bahwa renungan anak Footprints itu cukup baik. Sebut saja bu A. Dia rindu anak-anak dapat mengalami pertumbuhan rohani dengan bersaat teduh menggunakan renungan Footprints ini.

Itu sebabnya, bu A mendatangi 3 sekolah untuk menawarkan sumbangan renungan Footprints pada menggunakan uang pribadinya. Pada sekolah pertama, bu A menyampaikan keinginannya memberikan renungan dengan syarat sekolah mau mengajak anak membaca renungan setiap hari. Jumlah murid sekolah ini terbilang sedikit.

Ternyata kepala sekolahnya menyambut dengan dingin. “Kami itu sudah banyak pekerjaan di sekolah ini. Janganlah menambah beban pekerjaan lagi kepada kami dengan mengajak anak membaca renungan ini,” kata kepala sekolahnya.

Bu A berpamitan lalu pergi ke sekolah kedua. Jumlah muridnya juga tidak seberapa. Dia menawarkan hal yang sama. “Maaf, kami tidak dapat menentukan keputusan sekarang. Kami harus membawa ini ke dalam rapat dengan komite sekolah. Kalau sudah ada keputusan, akan kami kabari lagi,” kata kepala sekolah. Bu A menangkap sinyal penolakan secara halus.

Bu A tidak berputus asa. Dia pergi ke sekolah ketiga. Sebelum masuk ke gerbang sekolah, dia tanya kepada salah satu murid. “Siapa nama kepala sekolahmu, dik?” Tanyanya.

“Ibu D,” jawab murid itu.

Bu A lalu menemui penjaga sekolah. “Pak, saya mau ketemu ibu D,” katanya dengan mantab. Rupanya penjaga sekolah mengira bahwa bu A ini sudah kenal dekat dengan kepala sekolah. Maka dia mempersiapkan masuk.

Sampai di dalam, bu A bingung karena belum kenal sama sekali dengan bu D. Tak kehilangam akal, dia mendekati salah satu murid dan bertanya, “Eh, bu D itu yang mana ya?”

Sang anak lalu menunjuk salah satu orang. Bu A lalu menghampiri orang tersebut.

Dia menyampaikan tawaran yang sama dengan dua sekolah yang sebelumnya.

“Kami bersedia menerimanya, tapi jumlah murid kami itu sangat banyak. Apakah bisa memberi kepada semua anak?” Sambut bu D dengan antusias.

“Berapa jumlahnya?” Tanya bu A.

Bu D menyebutkan angka ratusan anak.

“Oke. Deal. Saya akan sumbang untuk semua anak,” kata bu A. Dia menghitung bahwa renungan yang ditolak oleh dua sekolah sebelumnya dapat dialihkan ke sekolah ketiga ini.

******

Itulah kehidupan. Ada yang memandang pemberian itu sebagai beban, tapi ada yang menyambutnya sebagai peluang. Setiap orang diberi talenta oleh Tuhan. Tapi respons terhadap pemberian itu berbeda-beda. Ada hamba yang ketakutan sehingga dia menguburkan talenta itu. Dia tidak mau ribet dengan tambahan tanggungjawab. Tapi ada pula hamba yang dengan sigap mengembangkan talenta itu sehingga bertambah banyak. Memang untuk melakukan itu dia akan lebih repot. Meski demikian, ujungnya adalah berbuah pujian dari tuannya. Sedangkan talenta yang semula dipercayakan kepada hamba yang pemalas itu diserahkan kepada hamba yang rajin.