Posted on

TERCENUNG MERENUNG NUNUNG
Aku tercenung membaca berita Nunung Srimulat ditanggap polisi karena diduga mengkonsumsi sabu.
Mengapa Nunung memakai sabu? Bukankah Nunung termasuk pesohor yang sukses?
Nunung adalah korban dari industri hiburan. Di tengah-tengah sengitnya kompetisi berebut kue iklan antara sesama stasiun TV dan dengan pengelola website, maka pengelola stasiun TV akan menggeber program apa saja yang terbukti punya rating tinggi. Kalau perlu, dibuatkan program stripping (tayang setiap hari). Acara yang dibintangi Nunung masuk dalam kategori ini.
Bagi penonton, yang tinggal ketawa-ketiwi menyaksikan aksi konyol Nunung dkk, barangkali tidak pernah membayangkan proses produksinya. Untuk bisa tayang secara stripping, biasanya dalam satu hari diproduksi 2-3 paket sekaligus. Biasanya pagi atau siangnya dibuat paket rekaman. Lalu malamnya dibuat paket secara live. Dengan demikian, Nunung harus bekerja secara marathon dari pagi hingga tengah malam. Lalu hari berikutnya atau jeda sehari, diulang lagi pola kerja seperti ini. Tidak hanya itu, jika artis itu masih”layak jual”, maka dibuatkan paket program lagi tapi lebih ringan yang ditayangkan di akhir pekan.
Dengan sistem kerja seperti ini, Nunung dituntut untuk selalu tampil kinclong, Gemerlap, aduhai, berseri-seri, dan yang paling berat adalah harus lucu. Dan yang lebih berat lagi, Nunung tidak boleh mengulang-ulang lelucon yang sama. Kelihatannya membanyol itu pekerjaan gampang, tetapi percayalah bahwa kerja kreatif agar membuat orang tertawa itu lebih berat daripada membuat orang menangis. Butuh enerji besar.

Saya pernah ikut syuting program jalan-jalan di luwar negri. Dalam sehari, mulai dari pagi hingga malam, sang artis dituntut untuk selalu tampil segar di depan kamera. Saya yang ngikutin saja sudah kelelahan pada sore harinya. Tapi tahu nggak, pada hampir tengah malam ketika akan istirahat, tiba-tiba ada perintah untuk syuting lagi. Dan sekali lagi, sang artis harus tampil sesegar bangun tidur di pagi hari.
Dengan tuntutan”tidak boleh kelihatan capek”, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian artis mengkonsumsi “obat” yang dapat “menunda kelelahan.” Penggunaan obat-obatan bukan karena akhlak mereka yang buruk melainkan karena tuntutan pekerjaan.
Eh tapi bukankah itu harga yang harus dibayar untuk ketenaran? Bukankah Nunung dibayar mahal untuk menjadi artis di program itu?
Ehm, itu benar satu sisi, tapi di sisi lain, ada sistem kerja yang perlu diperbaiki supaya menjadi lebih manusiawi. Dalam hal ini perlu ada regulasi yang membatasi jam kerja artis setiap harinya di industri hiburan.
Terakhir, ada beberapa warga net yang mengolok-olok paska tertangkapnya Nunung. Padahal barangkali saja, mereka pernah dibuat tertawa oleh Nunung, setidaknya satu kali saja. Lebih baik jika kita memberikan empati kepadanya. Jika ada warga net yang punya akses kepada pembuat kebijakan bolehlah kiranya disampaikan gagasan untuk lebih “memanusiakan” artis di industri hiburan.