Posted on
Pak Bambang saat koordinasi di GKI Veteran Tasikmalaya

Tengah malam telepon berdering.
“Mas, ada sekelompok orang mendatangi posko kita. Intinya mereka menolak program kita. Paling lambat besok pagi, saya harus meninggalkan lokasi,” terdengar suara pak Bambang Poediyanto dari seberang telepon dengan bergetar. Saat itu dia sedang berada di lokasi proyek rekonstruksi di pinggiran kota Tasikmalaya. Gempa bumi yang mengguncang kawasan pasundan tahun 2009 itu menghancurkan banyak rumah. Namun gempa yang lebih besar yang kemudian menggoncang Padang membuat para penyintas kurang mendapat perhatian.
Karena itu, GKI SW Jateng dan CRWRC, sebuah lembaga bentukan persekutuan gereja reformed seluruh dunia, berinisiatif membangun 36 rumah inti di desa Cikole Wetan. Sekitar 10 km dari kota Tasikmalaya.
Sebagai koordinator tim tanggap bencana GKI SW Jateng saya mengajak pak Bambang untuk mengawasi rekonstruksi. Dia sudah berpengalaman terlibat dalam proyek serupa di Klaten. Saat itu, kami membangun ribuan rumah inti bagi penyintas gempa.
Sebelum memulai proyek, kami melakukan pendekatan kepada calon penerima bantuan, tokoh pemuda, dan pemuka masyarakat. Kami jelaskan dengan terus terang bahwa kami berasal dari gereja, namun bantuan pembangunan rumah ini tidak mengandung unsur penyebaran agama. Mereka bisa paham dan setuju untuk menerima bantuan.
Pembangunan rumah dilaksanakan dalam tiga tahap. Tiap tahap, membangun 12 rumah.
Ketika memasuki akhir tahap ke-2, tetiba berhembus isu akan ada aksi penolakan. Sumber info berkategori A1, dari intel polisi.
Pak Bambang menyampaikan info ini.
“Bagi saya, keselamatan relawan lebih utama. Kalau aksi massa itu membahayakan, lebih baik pak Bambang untuk sementara mengungsi ke Tasikmalaya dulu. Di GKI Tasikmalaya ada guest house,” saran saya dari Klaten.
“Tenang saja mas. Saya akan coba bertahan semampu saya dulu,” kata pak Bambang.
Saya percaya kepada keberaniannya. Semasa muda dulu, dia memang dekat dengan kehidupan yang keras, sehingga tidak banyak hal yang membuatnya gentar.
Kalau menilik kehidupan dirinya di masa lalu, pak Bambang merasa sangat bersyukur bisa terlibat dalam pelayanan di tanggap bencana. “Saya hampir tidak percaya bisa mendapat kesempatan melayani seperti ini mas, mengingat hidup saya dulu yang kelam,” katanya di atas kereta dalam perjalanan ke Tasikmalaya.

Pak Bambang berbincang dengan ibu Euis, seorang janda yang hidup sebatang kara
***
Aksi massa itu dipicu berbagai rumor yang berbau sentimen keagamaan. Malam itu pak Bambang dipanggil ke kantor kepala desa untuk diajak “berdialog.” Waktu itu ada lebih dari 200 orang yang sudah ada di sana dan pak Bambang hanya sendirian. Posisi saya waktu itu ada di Klaten. Meski pak Bambang sudah memberikan penjelasan tapi massa sudah terlanjur emosional. Maka saya putuskan untuk menghentikan sementara proyek itu.
Dengan pertimbangan keselamatan, saya minta pak Bambang untuk meninggalkan desa itu. Tapi dia tidak mau. Dia menutup posko kami, tapi dia menginap di rumah salah satu tokoh di desa itu.
Saat itu, saya sudah emosional dan akan menghentikan saja program itu. Saya sudah terlanjur sakit hati karena niat baik kami malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan.
“Jangan dihentikan mas,” cegah pak Bambang. “Saya akan coba untuk melakukan pendekatan dan dialog”
Ternyata upayanya berhasil. Dia berhasil meyakinkan para penentang proyek itu sehingga akhirnya 36 rumah dapat diselesaikan.
——
Pada hari Sabtu, 2 Juni, Tuhan memanggil pak Bambang. Barangkali Dia butuh tenaga pak Bambang untuk pembangunan rumah di sorga.

https://www.youtube.com/watch?v=7CvF1qyXXTU&feature=share

Di rumah pak Misbah