Posted on
Angin semilir dari persawahan menghembusi jemaat Kristen di desa Pesu, kecamatan Wedi, kecamatan Klaten. Sudah hampir dua tahun mereka beribadah di bawah tenda darurat. Gedung gereja mereka roboh digoyang gempa, tanggal 27 Mei 2007. Hingga kini, izin untuk membangun gedung gereja belum dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Klaten.
Desa Pesu termasuk di dalam wilayah kerusakan terparah akibat gempa di kabupaten Klaten. Di desa ini saja ada 36 orang yang meninggal dunia dan ratusan luka-luka parah. Lebih dari 90 persen rumah roboh atau harus dirobohkan karena rusak parah. Sumanto (52 tahun) dan keluarganya merasa beruntung tidak menjadi korban gempa. Padahal saat itu isterinya sedang tergolek lemah di rumah usai menjalani operasi batu ginjal. Ketika goncangan terjadi, Sumanto harus memilih antara menyelamatkan diri atau menemani isterinya. Putri bungsunya, Oki Devi (14 tahun) sedang memberi makan ayam di luar rumah.
“Saya memanggil Oki masuk ke dalam kamar,” kenang Sumanto. Pikirnya, jika memang harus mati, biarlah mereka mati bersama-sama. “Tanah bergoyang-goyang keras sekali. Kami bertiga hanya bisa berdoa sekuat tenaga, ‘Tuhan jika Engkau berkehendak memanggil saat ini, kami sudah siap. Tapi kalau boleh, selamatkanlah kami.” Lalu terdengar gemuruh bangunan-bangunan yang roboh.
Rumah Sumanto tidak roboh, tapi retak-retak parah. Begitu goncangan berhenti, Sumanto bergegas membopong isterinya keluar dan membaringkannya di bawah pohon. Setelah itu, ia membantu tetangga-tetangganya yang terjepit balok kayu dan potongan tembok. “Saya ikut menggendong para korban ke pinggir jalan supaya bisa diangkut ke rumah sakit,” papar tukang kayu ini.
Menjelang siang, warga berkumpul di sebidang tanah kosong. Mereka masih terkesima dan belum tahu harus berbuat apa. Sumanto mengambil inisiatif membuka dapur umum. Dia mengumpulkan bahan makanan yang tersisa dan dimasak untuk makan siang. Pukul satu siang, bantuan dari Gerakan Kemanusiaan Indonesia yang berbasis di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten menyalurkan bantuan logistik, tenda dan lampu.
Gereja Roboh
Gereja GKI Klaten bakal jemaat Pesu, tempat Sumanto beribadah juga roboh. Tapi setelah puing-puing dibersihkan, keesokan hari sudah dapat dipakai untuk kebaktian hari Minggu. Suasana ibadah sangat mengharukan karena jemaat hanya beralaskan tikar dan beratap langit. Di luar hari Minggu, lokasi gereja itu digunakan sebagai klinik kesehatan darurat dan posko penyaluran logistik.
Pihak gereja memutuskan tidak akan buru-buru membangun kembali gedung gereja yang roboh. Dana bantuan yang mengalir melalui melalui gereja digunakan untuk membantu warga sekitar membangun kembali rumah-rumah yang roboh dan rusak parah. Memanfaatkan sisa-sisa bangunan, gereja dan warga bersama-sama membangun rumah inti (core house) berukuran 21 m2. Hingga bulan Februari 2008, gereja sudah membangun lebih dari 2500 rumah inti.
Sumanto juga mendapatkan bantuan untuk memperbaiki rumahnya. Meskipun tidak roboh, tapi akhirnya rumahnya harus dirobohkan juga karena tidak memenuhi syarat keamanan. “Selama setahun saya tidak bisa bekerja. Saya harus membangun rumah kami lagi,” kata ayah tiga anak perempuan ini. Lalu darimana ia mendapatkan uang? “Saya mengandalkan bantuan dari pemerintah, dermawan dan kiriman anak saya yang bekerja di Malaysia. Saya juga pinjam uang dari sana-sini,” kata Sumanto. “Saya yakin ini adalah campur tangan dari Tuhan. Kalau bukan karya Tuhan, mana mungkin ada orang yang mau memberi pinjaman kepada pengangguran,” jelas Sumanto dengan suara bergetar. Sekarang Sumanto sudah bisa bekerja lagi sebagai tukang kayu. Dia mendapat pesanan membuat daun pintu dari kayu.

Menunggu Izin
Setelah tidak ada warga sekitar yang masih tinggal di bawah tenda, maka gereja memutuskan saatnya membangun gedung gereja kembali. Bulan Oktober 2007, mereka mengajukan izin ke pemerintah kabupaten, disertai syarat lengkap seperti dalam ketentuan peraturan. Namun pada saat yang sama, ada sebagian warga yang menentang keberadaan gereja. Akibatnya, izin itu belum dikeluarkan sampai sekarang.
Berlarut-larutnya pemberian izin ini sangat disesalkan oleh Sumanto. “Setiap orang ‘kan punya hak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing,” kata Sumanto. Dia juga menyesalkan sikap warga yang menentang gereja. “Mereka mau menerima bantuan dari gereja, tapi mengapa mereka tidak mau mengizinkan kami beribadah di tempat yang layak?”sesal Sumanto. Meski begitu, dia bersyukur karena masih bisa beribadah, walau di tenda darurat. “Yang beribadah itu ‘kan jiwa dan rohnya. Gereja bukanlah gedungnya,”katanya sambil mengutip lagu Sekolah Minggu.
Sampai saat ini, berkas permohonan izin ini mendeg di meja FKUB. Alasannya, para anggota FKUB sangat sibuk oleh kegiatan agama masing-masing sehingga belum sempat mengadakan pertemuan untuk membahas berkas permohonan izin pendirian tempat ibadah. Ini artinya Sumanto dan jemaat di sekitarnya masih harus beribadah di bangunan darurat.
Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *