Posted on

Saya dan isteri saya termasuk penggemar teh. Setiap kali mencoba masakan sebuah warung makan, biasanya kami memesan teh yang puaaaanas. Setelah menyeruput beberapa teguk, kami kemudian memberikan nilai pada teh yang disajikan. Kami memberikan nilai A, jika teh tersebut terasa sepat, harum bunga melati, berwarna kuning bening dan kental. Nilai B diberikan jika salah satu unsur tersebut tidak ada. Nilai C jika kehilangan dua unsur penilaian. Dan diberi nilai D jika teh yang terasa pahit dan berwarna merah menyala. Minuman seperti ini hasil seduhan dari teh yang berasal dari batang atau daun teh yang sudah tua. Sedangkan warna merah bukan dihasilkan dari dalam teh itu, melainkan dari hasil pewarnaan [cilakanya, ada yang menggunakan pewarna tekstil yang karsinogenik].

Dari hasil wisata kuliner di kota Klaten, ada dua warung makan lesehan yang menyediakan teh dengan nilai B. Pertama, nasi uduk di jl. Pemuda. Kedua, tempe penyet di daerah Tambakan. Namun secara pribadi, saya memberikan nilai plus kepada warung tempe penyet karena menyajikan teh menggunakan poci dan cangkir dari tanah liat. Pemilik warung sudah memasukkan sebongkah gula batu ke dalam cangkir kecil dari tanah liat. Pembeli dipersilahkan menuangkan sendiri teh ke dalam cangkir itu. Gula batu yang terbenam dalam teh itu tidak segera larut semuanya, sehingga dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Orang di sini biasa menyebut gula batu itu seperti ‘kebo njerum’ atau kerbau yang sedang berendam.

Sementara itu, di pinggiran Jogja ada satu warung soto yang juga menyajikan teh yang cukup enak. Letaknya 10 km dari kota Jogja. Persisnya di belakang Puskesmas Payak. Saya memberikan nilai A kurang dikit untuk sajian teh mereka. Menurut pemilik warung, rahasianya adalah selalu menyeduh teh dengan menggunakan air yang mendidih. Setiap tamu disuguhi satu poci teh yang baru saja diseduh. Kalau kita langsung menyeruput begitu saja, pasti akan kepanasan. Rahasia lainnya adalah memasak air menggunakan kayu bakar. Entah benar atau tidak, tetapi kayu yang terbakar dapat menciptakan aroma khas yang tidak dapat ditandingi oleh kompor minyak, kompor gas ataupun batubara.

Jika mengendarai sepeda motor dari Wonosari ke Jogja, saya selalu menyempatkan diri mampir di sana. Kombinasi antara sensasi panas dan kafein mampu menyegarkan kembali konsentrasi otak, sehingga saya dapat mengendarai motor dengan kewaspadaan.

Belakangan ini, saya baru ingat. Sebenarnya di kota kelahiranku, yaitu di Wonosari juga ada beberapa sajian teh yang cukup nikmat juga. Kalau tidak salah, salah satunya adalah lesehan pak Wariyo yang ada di daerah terminal. Di situ kita bisa duduk lesehan semalaman sambil menyeruput sajian teh poci sedikit demi sedikit. Kalau lapar, kita bisa memesan nasi opor ayam. Saya kurang tahu, apakah tempatnya masih di situ atau tidak.

Sedangkan di daerah Semanu, dari Wonosari ke arah Timur sekitar 7 km, ada lagi warung makan yang menyajikan teh dengan nilai B.

Warung ini cukup istimewa karena juga menyajikan menu nasi merah, sayur cabe, gudeg daun pepaya dan lauk daging sapi (iwak empal). Di kalangan pejabat, warung yang berdinding bambu ini sangat terkenal. Tak kurang Guruh dan Sultan HB X pernah mampir ke sana. Nah, hari Sabtu (22 Okt), saya sempatkan untuk mampir ke sana bersama isteri saya dan dua orang teman (empat orang). Kami menghabiskan uang 53 ribu. Bagi saya itu sepadan dengan rasa teh yang enak dan nasi merah yang makin sulit didapatkan di kota besar.

Purnawan Kristanto
——————————————-
* Visit my personal homepage at:
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
* Read my writings at:
http://purnawan-kristanto.blogspot.com

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *