Posted on
Hari ini (22/10/2005) aku mendapat berkat rohani yang luarbiasa melalui kesaksian yang diceritakan oleh saudara-saudara seiman. Salah satunya adalah pengalaman nyaris menjadi korban bom Bali jilid II di Jimbaran.
Sore tadi aku dan isteriku menghadiri ibadah syukur dalam rangka kehamilan tujuh bulan (mitoni: bhs Jawa). Acara ini terasa istimewa karena calon ibu yang sedang hamil itu, sudah menantikannya selama 13 tahun. Pada awal acara, pak Yoyok yang menjadi pembawa acara mengatakan, “Kalau kita mendengar ada seorang wanita yang hamil, maka semua orang akan bersukacita.” Ucapan ini diamini oleh Ibu Pdt. Tanti yang membawakan renungan pada malam itu. Dia lalu memberi kesaksian bahwa ketika mengandung anak pertama, pada mulanya hati kecilnya menolak. Menurutnya, kehamilan itu terlalu cepat padahal dia dan pasangannya merasa belum mapan.  Ketika orang lain memberi ucapan selamat kepadanya, hati kecilnya sebenarnya memberontak. Dia belum siap mempunyai anak.
Hingga suatu malam, dia bermimpi melihat anak kecil berwajah bulat dan berpakaian rompi [aku langsung berpaling kepada suaminya, yang memang berwajah bulat]. Malam itu juga, dia langsung membangunkan suaminya dan berkata, “Pa, besok anak kita laki-laki!” [Usia kandungannya saat itu baru 2 bulan, sehingga secara medis belum dapat diketahui jenis kelamin bayinya]. Sejak saat itu bu Tanti menerima dan mensyukuri kehamilannya. Tiga tahun kemudian, ketika anaknya bertumbuh besar, diam-diam mendandani anaknya dengan pakaian rompi dan menyisir rambutnya ke pinggir. Setelah diamati dengan seksama, ternyata wajah anak sulungnya itu mirip dengan wajah anak dalam mimpinya itu!
 
Usai khotbah, pembawa acara juga tergerak untuk menyampaikan sebuah kesaksian yang dialami oleh adiknya. Suatu ketika adik perempuannya mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Banjarnegara. Dia langsung dibawa ke Rumah Sakit Daerah. Karena mengalami benturan di bagian kepala, dia kemudian tidak sadarkan diri. Keadaannya begitu parah, sementara peralatan di RS itu sangat minim. Wanita ini harus dibawa ke Rumah Sakit dengan peralatan yang lebih baik, yaitu ke Jogja [sekitar 5 jam perjalanan]. Situasinya menjadi dilematis karena melihat kondisinya yang belum stabil, dokter tidak dapat menjamin bahwa pasien ini dapat bertahan selama perjalanan. Namun di sisi lain, jika tetap dirawat di RS itu, kondisinya juga tidak akan lebih baik. Satu-satunya cara adalah keluarga pasien ‘meminta dengan paksa’, kata dokter itu. Dengan demikian, RS dibebaskan dari tanggungjawab apa pun terhadap pasien itu.
Pak Yoyok memilih alternatif terakhir. Dia mengambil langkah iman dengan ‘mengambil paksa’ pasien itu untuk kemudian melarikannya ke RS Betesda, Jogja. Sesampai di sana, dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi. Setelah diperiksa, diketahui bahwa wanita ini sedang hamil. Dengan melihat obat-obatan yang telah diberikan dokter setelah kecelakaan itu, maka diperkirakan bayi dalam kandungan ikut menerima efek sampingnya. Dokter menyarankan supaya setelah operasi ini, pasien segera menggugurkan kandungannya. Alasannya, janin yang dikandungnya sudah tercemar obat-obatan. Sehingga sekalipun nanti lahir dalam keadaan hidup, bayi itu akan mengalami cacat.
Operasi berjalan dengan sukes. Setelah pasien sadar, dia diberitahukan tentang kemungkinan cacat yang terjadi pada bayinya. Meski begitu, adik pak Yoyok ini memutuskan untuk tetap meneruskan kehamilannya.
Bulan demi bulan berlalu. Pasien ini sudah sembuh dari luka-luka akibat kecelakaaanya. Hingga akhirnya tiba waktunya untuk melahirkan. Dia melahirkan dengan cara yang normal. Puji Tuhan, ketika lahir, keadaan bayi menunjukkan tanda-tanda yang normal. Bayi perempuan itu diberi nama Margareta.
Tahun demi tahun berlalu, Margareta bertumbuh dewasa dan mulai bersekolah. Anugerah Tuhan begitu nyata pada anak ini. Tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan yang berarti pada anak Margareta. Malahan, Margareta selalu menjadi juara kelas dari kelas 1 SD sampai dengan kelas 2 SMP. Tuhan belum berhenti memberikan kebaikan pada Margareta. Dia menganugerahkan kekuatan otot di dalam berenang, sehingga dia menjadi juara 1 untuk lomba renang sekabupaten Banjarnegara. Akhir-akhir ini, Pemerintah Daerah Medan menawarnya supaya pindah ke sana. Mereka berjanji akan memberi bea siswa. Akan tetapi keluarganya masih pikir-pikir dulu. Saat ini, segudang piala menghiasi rumah keluarga Margareta.
 
Mendengar kesaksian ini, hati tamu-tamu yang hadir pada acara tersebut meluap dengan ucapan syukur. Di akhir acara, koh Hoho dan cik Ie yang menjadi tuan rumah pada malam itu ingin menyumbangkan pujian. Namun sebelumnya, koh Hoho menyampaikan kesaksiannya.
Dia mengucapkan ucapan syukur yang tak terkira untuk kehamilan isterinya. Mereka sudah menantikannya selama 13 tahun. Selama bertahun-tahun mereka sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keturunan, tetapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya koh Hoho dan isteri sudah sampai pada titik penyerahan diri. Sekalipun Tuhan tidak menganugerahkan anak, koh Hoho tetap akan mencintai isterinya. “Dulu sewaktu saya mengucapkan janji pernikahan, saya ‘kan tidak mengajukan syarat bahwa isteri saya harus bisa hamil.” kata koh Hoho sambil melirik isterinya. Cik Ie membalas dengan senyuman.
“Namun pada tahun 1997, isteri saya hamil,” kenang koh Hoho, “kami tentu saja menyambutnya dengan gembira.” Namun kegembiraan itu hanya bertahan selama dua bulan, karena isterinya kemudian mengalami keguguran. Saat itu koh Hoho mengalami kekecewaan yang luar biasa. Dia memprotes kepada Tuhan, “Tuhan itu bagaimana, sih? Kami sudah bertahun-tahun minta anak, tapi Tuhan tidak mengabulkannya. Kami sudah berusaha segala-galanya, namun tanpa hasil. Namun ketika kami sudah tidak begitu menginginkan akan lagi, eh Tuhan membuat isteri saya hamil. Namun ketika kami sudah mulai merasa senang, Tuhan mengambilnya kembali. Saya merasa kecewa sekali pada Tuhan.”
Selama bertahun-tahun koh Hoho mengalami kepahitan dengan Tuhan. Hingga pada awal tahun ini (tahun 2005), cik Ie mengungkapkan keinginannya untuk mempunyai anak lagi. Koh Hoho menuruti keinginan isterinya, namun dengan perasaan yang dilingkupi dengan pesimisme dengan pertimbangan umur mereka yang sudah mulai lanjut. Mereka lalu menjalani terapi medis.
Pada tanggal 25 Maret 2005, seperti biasa setiap pagi ci Ie bersaat teduh. Bacaan renungan pagi itu adalah tentang Maria dan kelahiran Yesus. Ci merasa ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Dia lalu menyodorkan bacaan itu pada suaminya. Setelah membacannya, Koh Hoho juga merasa mendapat berkat dari renungan. Siangnya, koh Hoho mendapat telepon dari asisten dokter yang memberikan terapi kehamilan pada mereka. Dia memberitahukan kabar gembira bahwa menurut tes laboratorium, ci Ie dinyatakan positif hamil! “Saat itu, saya seperti melompat dari tempat itu!” kata koh Hoho dengan mata berkaca-kaca. Penantian selama tigabelas tahun akhirnya didengar oleh Tuhan. Di akhir kesaksian koh Hoho mengakui bahwa selama ini dia hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Dia lebih menggantungkan harapan terhadap terapi medis dan kurang menggantungkan pengharapan keduanya kepada Tuhan. Mereka lalu menutup kesaksian itu dengan bernyanyi duet dengan lagu “Prayer.” Ya, doa-doa mereka telah terjawab.
 
Sesuai ibadah, kami bersantap malam sambil ramah tamah. Sambil memegang piring makan, saya terlibat percakapan dengan pak Joko Sudibyo. Dia adalah ketua majelis gereja kami. Saya menanyakan kesehatan beliau, karena baru saja mengalami kecelakaan sepeda motor. Dia mengaku sehat-sehat saja. Isteri saya dan salah satu jemaat ikut bergabung dana obrolan itu.   “Pemeliharaan Tuhan itu memang luar biasa,” kata pak Joko memulai kesaksiannya. “Selama ini, kalau naik sepeda motor saya selalu memakai helm yang tidak standar [orang-orang di sini menyebutnya helm ‘cidhuk’. Cidhuk = gayung air]”. Suatu malam, dia bertamu ke rumah temannya. Ketika hendak pamitan pulang, tuan rumah melihat pak Joko hanya mengenakan helm ‘cidhuk’. Maka dia buru-buru masuk ke dalam rumah untuk mengambil helm standar. Lalu dengan nada bercanda, tuan rumah itu berkata, ‘Klaten masih membutuhkanmu. Kamu tidak boleh mati terlalu cepat karena kecelakaan. Nih, aku beri helm standar. Dipakai ya!’ Pak Joko menerima pemberian helm itu, tapi dia tidak menanggapi saran temannya dengan serius.
Suatu sore, dia akan melayani di sebuah pos jemaat yang jaraknya sekitar 5 km. Entah mengapa, saat itu dia memutuskan untuk memakai helm standar. Helm itu yang kemudian menyelamatkan hidupnya.
Seperti biasa, dia berangkat dengan naik sepeda motor sendirian. Setelah melewati palang kereta api, pak Joko bermaksud menyalib truk yang ada di depannya. Setelah hampir sampai di depan truk, dia hampir truk, tiba sepeda motornya terpelanting. Dia terlempar dari kendaraan, tubuhnya menghantam aspal kemudian tercebur ke dalam selokan. Sementara itu, sepeda motornya juga berguling-guling selama beberapa kali dan masuk selokan juga.
Pertolongan Tuhan sungguh nyata. Meski juga tercebur selokan, tetapi sepeda motor itu tidak menimpa tubuh pak Joko. Yang lebih luar biasa lagi, helm standar itu telah melindungi kepala pak Joko dari akibat benturan dengan aspal. Setelah diperiksa, pelipis kiri helm itu mengalami keretakan. Pak Joko sendiri tidak mengalami luka-luka yang berarti. “Seandainya saya tidak memakai helm standar, saya tidak tahu apakah saya masih bisa berdiri di sini atau tidak” desis pak Joko dengan suara bergetar. Isteri pak Joko ikut bergabung. Dia lalu melanjutkan kesaksian anak-anaknya:
Akhir September tahun ini, anak-anaknya berlibur ke Bali. Pada hari pertama di bulan Oktober, mereka pergi mencari makan malam ke Jimbaran. Tempat yang mereka tuju adalah Cafe Nyoman. Mereka mengambil tempat duduk, yang ketika bom itu meledak sangat dekat dengan sumber ledakan. Namun tiba-tiba mereka berubah pikiran. Mereka sudah beberapa kalai ke tempat ini. Untuk itu mereka ingin mencoba tempat yang lain. Maka mereka pun pindah ke cafe di sebelahnya.
Ketika mereka sedang menunggu datangnya ledakan, tiba-tiba terdengarlah ledakan yang dahsyat. Mereka lari tunggang langgang untuk menyelematkan diri. Setelah dapat menenangkan diri, ternyata tidak ada satu pun yang terluka. Mereka segera kembali ke hotel lalu mengabarkan ke orangtua mereka bahwa mereka selamat. Anak-anak ini merasa bersyukur untuk perlindungan Tuhan. Keesokan paginya, mereka menyimak berita tentang bom-bom lainnya yang tidak meledak. Ketika melihat lokasi bom yang tidak sempat meledak itu, mereka sangat tercengang. Ternyata, pada malam itu saat melarikan diri, mereka sebenarnya sedang berlari arah bom-bom lainnya yang tidak sempat meledak itu. “Entah apa jadinya kalau bom itu meledak!”ujar pak Joko dengan penuh ucapan syukur.
 
Dalam perjalanan pulang, aku merenung betapa berharganya hidup ini. Kalau tidak belum memberikan keturunan pada suami-isteri, dengan cara apapun yang dilakukan manusia, hasilnya tetap saja nol. Namun ketika Tuhan menunjukkan kemurahan-Nya, Dia dapat memakai cara-cara yang di luar dugaan kita. Dan ketika Allah berkenan memelihara kehidupan umat-Nya, Dia kadang menunjukkan-Nya dengan cara yang luar biasa dan menyentuh hati. Namun aku tahu, meski tanpa harus melalui cara yang spektakuler, Allah tetap memelihara kita. Inilah yang kusyukuri. Termasuk kusyukuri juga kehamilan istriku selama 2,5 bulan. Kusyukuri karena Allah segera mengaruniakan kehamilan pada 2 bulan setelah pernikahan kami. Kusyukuri juga karena selama kehamilan ini, dia tidak mengalami gangguan kesehatan yang berarti (kekuatan fisiknya emang hebat dia. Aku kagum padanya. Kusyukuri karena selama kehamilan, dia tidal nyidam yang macam-macam atau bersikap kemanja-manjaan. Syukur pada-Mu, Tuhan!
 
 
 
Purnawan Kristanto
——————————————- 
 * Visit my personal homepage at:
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
  * Read my writings at:
  http://purnawan-kristanto.blogspot.com
Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *