Posted on

3 Juni
Pagi-pagi, aku sudah mendapat telepon dari Posko Induk. Aku harus segera membuat proposal karena sebuah lembaga charity yang terkenal di Indonesia, berinisial CI akan mengirimkan ribuan tenda dan selimut. Menurut informasi, mereka telah menyewa gudang di Klaten sebagai stok barang. Kami dijanjikan akan mendapat sekitar tiga ribu tenda. Pukul 9, proposal itu diserahkan kepada Mateas yang menjadi penghubung ke lembaga itu. Kami kemudian ditelepon bahwa harus menyediakan lebih dari lima tenaga untuk menjemput tenda dan selimut itu di bandara.
Dengan harapan yang sangat besar, mobil relawan dan truk meluncur di bandara. Tenda sebanyak itu akan sangat banyak membantu pengungsi di lokasi bencana. Begitu kiriman diturunkan dari pesawat, para relawabn segera memuat barang-barang itu ke atas truk. Rombongan kemudian meluncur ke arah Timur. Namun ketika sampai di Prambanan, bule-bule yang dari lembaga ini membelokkan rombongan ke arah Piyungan. Hal ini di luar yang disepakati semula. Tanpa berkoordinasi dengan kami, bule-bule itu segera membagikan tenda-tenda itu kepada masyarakat sampai habis. Padahal pengungsi yang mendapat bantuan tenda dan selimut itu masih termasuk wilayah korban gempa yang ringan. Setelah itu kami disuruh pulang dengan tangan hampa. Tak selembar selimut dan tenda yang didapatkan. Bahkan untuk jatah makan siang pun para bule-bule itu tidak memberikan. Teganya, teganya, teganya……
Selepas makan siang, aku dan Agus Permadi melakukan survei ke dusun Lengkong, Duren-Serut dan Pondok. Lokasi ini terbilang sulit dijangkau karena berada di lereng dan puncak pegunungan seribu. Belum ada jalan aspal. Jalan masih berupa susunan batu-batu putih, namun pada tanjakan yang sangat tajam telah dibuat dari cor semen. Dengan hanya memakai Astrea Grand, medan ini sangat sulit dijangkau. Mesin berkapasitas 80 cc ini harus membawa muatan dua orang, dengan total berat badan sekitar 1,5 kuintal! Setiap kali melewati tanjakan yang curam, roda depan sepeda motor tidak dapat menapak dengan sempurna karena sesekali terangkat.
Persediaan pangan di ketiga tempat ini ternyata sudah menipis. Untuk penduduk di dusub Lengkong, kami meminta penduduk setempat untuk memgambil sendiri bantuan pangan menggunakan sepeda motor. Sedangkan untuk desa yang ada di puncak gunung, kebetulan ada bantuan dari teman-teman Offroader dari Surabaya. Mereka membawa tiga mobil jeep. Dengan memuat 20 karung beras, 15 mie instan, tenda, selimut dan obat-obatan, kami segera meluncur ke lokasi. Namun rupanya medan yang kami lalui masih terlalu ringan bagi para Offroader ini. “Apa tidak ada medan yang lebih menantang?” tanya salah satu Offroader melalui Handie Talkie, dengan nada kecewa. Sesampai di posko Pesu, mereka segera berpamitan. Alasannya, mereka sudah janjian dengan pihak lain. Namun saya menduga, mereka mencari medan yang lebih sulit dan yang dapat memeras adrenalin mereka.
Sore hari, karyawan Hoka-hoka Bento menawarkan bantuan ke Posko Pesu. Namun sebelum itu, mereka lebih dulu mengajukan banyak sekali pertanyaan. Sebagian besar menanyakan masalah prosedural-birokrasi. Misalnya apakah keberadaan Posko ini sudah diketahui ketua RT setempat dan sebagainya. Hal ini membuat relawan-relawan yang muda menjadi tidak sabar. Mereka tidak punya waktu dan tenaga untuk melayani pertanyaan yang lebih mirip dengan interogasi ini. Untunglah ada anggota jemaat yang lebih tua, yang dengan sabar menjawab pertanyaan itu. Pada akhirnya, perusahaan waralaba dari Jepang ini menurunkan 400 lembar selimut dan 2600 biji roti isi pisang dan daging. Menurut mereka, roti ini dapat bertahan selama lima hari. Namun, sekarang adalah hari ketiga. Hari sudah petang. Kami sempat kebingungan bagaimana cara mendistribusikan roti sebanyak itu. Pada saat yang tepat, datanglah bala bantuan yang diperlukan. Pendeta Indrianto dari GKJ Gayamprit datang bersama dengan rombongan klub VW Combi-nya. Mereka bersedia membagikan roti ke daerah bencana.
Hari ini kami banyak dikecewakan oleh teman-teman sepelayanan. Ada yang mengingkari janji yang telah diberikan. Ada yang melontarkan kata-kata yang ‘nylekit’. Ada pula yang justru merepotkan kami. Pada saat datang, dia sudah marah-marah karena tidak dijemput. Padahal dia tidak memberitahukan kedatangannya. Selama di lokasi, dia minta dilayani bermacam-macam. Ketika pulang, dia pun minta diantar ke bandara. Perilaku semacam ini sangat menguras energi dan emosi. Untuk itu, kami menyiasatinya dengan selalu menyelipkan humor dalam setiap situasi. “Di dalam pelayanan ini, kita tidak usah patah semangat” kata seorang teman lewat komunikasi radio. “Kalau patah, kita punya lem yang superkuat untuk menyambungnya kembali. Mereknya Yesus Kristu,” timpal relawan lain. Aku teringat ucapan pak Yusak dalam sebuah briefing: “Kita harus melayani hingga sakit!”
Pada saat jurnal ini ditulis, gempa susulan terjadi lagi, pada sekitar 00.30. Goncangannya sangat terasa. Sebelumnya, sekitar pukul 18.00, teman dari GKJ Prambanan menginformasikan terjadi gempa yang sangat terasa di daerah sekitar kraton Boko. Namun tidak terasa di Klaten dan sekitarnya. Ya Allah, lindungilah kami dengan kasih karuniamu!

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *