Posted on

Our Memories of Siwi

Pagi ini kami mendapat kabar yang mengagetkan. Rekan sepelayanan kami di posko Gerakan Kemanusiaan Indonesia (GKI Klaten), Siwi Budi Wibowo dipanggil pulang oleh Bapa di sorga pada hari Sabtu, 7 Oktober lewat tengah malam. Ah, Siwi…begitu cepatnya Tuhan ingin bertemu denganmu. Siangnya, kita masih bercanda-canda dan saling meledek. Engkau memamerkan PDA baru pada isteriku. “Ini pemberian kok” katamu sambil nyengar-nyengir karena belum bisa memakai gadget canggih itu. Maklum engkau agak gaptek.
“Mbok saya juga dimintakan,” goda isteri saya. “Saya tidak minta kok. Saya Cuma dikasih,” sahutmu sambil berkelit. Engkau lalu menghampiri aku yang sedang menyiapkan powerpoint untuk acara Tertawa Bersama Den Baguse Ngarso. “Wan, aku mau beli laptop” katamu. “Semakin makmur saya kamu ini,” canda saya.
Saya lalu memberi beberapa saran jika ingin beli laptop. Engkau manggut-manggut lalu pamitan sambil berpesan minta tolong supaya saya memperbaiki setting communicatormu yang berantakan gara-gara diotak-atik oleh dokter di Posko. “Bawa saya ke Pastori,” jawab saya.
—***—
Saya mengenal Siwi karena sama-sama relawan di tim GKI Klaten. Beberapa hari setelah gempa, Siwi bergabung dengan kami. Kesan pertama saya ketika pertama kali mengenalnya, Siwi terlihat sebagai sosok yang penuh enerji, antusias, tapi agak ‘kemlinthi’ dan ‘mbagusi’.
Dia sangat bersemangat membantu korban bencana. Ketika mendengar ada desa yang belum mendapat bantuan, dia langsung menyambar Suzukinya dan segera menghantarkan bantuan yang diperlukan. Dia rela menerobos medan yang berat demi menolong korban bencana.
Hatinya mudah tergerak oleh belas kasihan. Jika mendengar ada orang yang membutuhkan bantuan, dia akan memberikan pertolongan dengan sekuat tenaga. Ada seorang kakek yang hidup sendirian. Tidak ada keluarga yang mau merawatnya karena sakit-sakitan. Gempa telah meratakan gubuknya. Akibatnya, dia hanya berteduh di bawah pohon pisang. Melihat keadaan ini, Siwi segera menghantarkan terpal supaya dapat dipakai untuk berteduh. Tindakan Siwi ini sempat dipersoalkan oleh rekan-rekan di Posko karena waktu itu ada kebijaksanaan bahwa bantuan tenda/terpal adalah untuk digunakan bersama-sama. Karena jumlahnya yang terbatas, maka kami belum bisa memberi satu tenda untuk setiap keluarga.
Tapi itulah gaya Siwi, dia sering menerabas aturan main yang ditetapkan oleh posko bencana. Padahal aturan main ini dibuat bersama. Dia ikut serta dalam merumuskan kebijaksanaan itu. Tindakannya yang srudag-srudug ini kadang membuat kesal relawan yang lain. Sebagai contoh, orang-orang di posko agak gaduh karena mencari meja besar yang tidak ada. Usut punya usut, ternyata meja ini digunakan Siwi untuk klinik kesehatan di tempat lain. Dia mengambilnya begitu saja tanpa memberitahukan kepada anggota Posko.
Pembawaannya santai. Kalau berbicara dia ceplas-ceplos dan suka bercanda. Supaya tidak stress, kami sering bercanda dan saling meledek. Siwi biasanya menjadi sasaran empuk untuk dijadikan korban ledekan. Tapi dia menanggapinya dengan santai, dan tidak pernah dimasukkan dalam hati. Teman-teman di posko sering meledekinya karena Siwi sering membantu korban gempa yang berstatus janda. Namun dipikir-pikir, apa yang dilakukan oleh Siwi ini masuk akal juga, karena janda termasuk di antara lapisan masyarakat yang marjinal. Sebagai perempuan, mereka sudah terpinggirkan, apalagi statusnya sebagai janda.
—***—
Sebagai sesama relawan, saya beberapa kali berbeda pendapat dengannya. Dalam sebuah rapat, dia mengatakan ada seorang pria muslim yang berminat bergabung dengan tim GKI. Pria ini dulu pernah bergabung dengan sebuah laskar bersenjata dan dikirim ke Ambon. Sekarang, setelah melihat kiprah orang-orang Kristen dalam menolong korban gempa, pandangannya terdadap orang Kristen mulai berubah. Dia menyatakan minat pada Siwi untuk bergabung dengan tim GKI.
Menanggapi hal itu, saya tidak setuju jika pria ini diterima ke dalam tim GKI. Alasan yang saya kemukakan, kita belum mengenal lebih dalam orang ini. Jika dia bergabung dengan GKI, maka dia bisa mengakses informasi yang strategis dari gerakan ini. Karena belum yakin 100% pada ketulusan orang ini, maka saya menyarankan supaya orang ini diikutsertakan secara terbatas saja.
“Saya setuju kita harus inklusif, tapi harus bijak. Kita tidak boleh terlalu terbuka sehingga kelihatan sangat telanjang,” kata saya. Teman-teman yang lain tidak ada yang menyanggah pendapat saya.
Perbedaan pendapat lainnya adalah soal klinik kesehatan. Ketika terjadi gempa di Pangandaran, kami kesulitan tenaga medis karena dokter yang bertugas di posko kami telah ditarik dan dipindahkan ke Pangandaran. Melihat hal ini, Siwi sangat gigih mengusahakan dokter yang bersedia kerja sosial.
Dia pernah mendatangi pos PMI Klaten. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh petugas PMI pada Siwi adalah, “Apakah Anda bisa memberi honor kepada dokter kami?”
Dengan nada tinggi Siwi segera menukas, “Anda minta berapa? Akan kami bayar?”
“Sebelum ini, dokter yang ada di posko Anda diberi honor berapa?”
“Mereka tidak minta honor. Mereka datang dengan biaya sendiri. Bahkan membawa obat-obatan sendiri!”
Gagal mendapat bantuan dari PMI, Siwi mengontak beberapa orang di Jakarta, Solo, Kalimatan, Jogja dan Bali. Akan tetapi tuntutan yang diajukan oleh dokter itu sangat berat bagi kami. Selain honor, mereka minta tiket pesawat setiap dua minggu, asuransi, tunjangan, akomodasi dll.
Ketika semua upaya hampir mentok, saya mengusulkan supaya klinik kesehatan ini dihentikan saja. Menurut saya, masa darurat sudah selesai. Pada kenyataannya, orang-orang yang dilayani oleh klinik itu bukan korban gempa lagi, tapi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh hal lain. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi manja dan menciptakan ketergantungan pada pelayanan kesehatan kami. “Semua ini sudah dapat dilayani oleh Puskesmas setempat” kata saya.
Namun Siwi punya pendirian yang berbeda. Pelayanan kesehatan harus jalan terus. Kalau tidak ada dokter yang mau kerja sosial, maka dia akan menggaji dokter profesional. Itu sebabnya, dia sekuat tenaga mencari dana dari berbagai sumber untuk mendanai pelayanan kesehatan ini. Bahkan sebagian besar penghasilannya pun disumbangkan untuk pos kesehatan ini.
Rupanya Siwi terinspirasi oleh kata-kata pendeta dari Jabar yang berkunjung ke posko kami. “Apakah kalian tidak akan meninggalkan sesuatu yang monumental di sini? Bagaimana kalau kalian membuat klinik yang permanen di sini,” kata pendeta itu. Klinik itu direncanakan ada di dalam kompleks gereja bakal jemaat di Pesu yang rata dengan tanah. Dalam rancana rekonstruksi, kami akan membangun kembali gedung gereja itu. Selain tempat ibadah, juga akan dilengkapi dengan ruang untuk konsistori, ruang Sekolah Minggu dan klinik kesehatan untuk umum. Kami punya impian bahwa gereja ini dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat setempat. Warga yang bukan menjadi anggota gereja tidak merasa sungkan untuk masuk ke dalam gereja. Hal itu dimulai dengan membangun klinik kesehatan untuk umum.
—***—
“Totalitas”, kata ini dapat menggambarkan jalan hidupnya paska gempa. Sejak 27 Mei sampai dengan 7 Oktober 2006, seluruh hidupnya diabdikan untuk korban gempa. Saya memperkirakan upacara pemakaman besok akan banyak didatangi oleh warga yang menjadi korban gempa.
Hingga saat ini, kami sudah membangun rumah sebanyak 379 unit tipe 21 m2. Masih akan menyusul 300 unit lagi. Dalam proyek ini, peran Siwi sangat signifikan. Dia menjadi penghubung antara tim GKI dan Lembaga Donor yang menjadi mitra kerja kami. Dengan penuh dedikasi, dia menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh kunci di dalam masyarakat. Dia berusaha meyakinkan bahwa bantuan dari tim GKI ini tulus. Inilah monumen sesungguhnya yang telah dibangun oleh Siwi. Dengan dorongan hati yang tulus, Siwi telah ikut membalut luka-luka para korban gempa itu.
Selamat jalan pak Siwi…..untuk menghantar kepergianmu, biarlah saya kutipkan SMS dari ibu Jane, isteri duta besar Perancis: “Kami sangat kehilangan beliau yang begitu bersemangat dan rela hati dalam membantu sesamanya.”

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *