Posted on

Isteri tetangga depan rumahku kelihatan gelisah. Pada pukul enam sore, dia menemui isteriku untuk meminjam Betadine. Wajahnya kelihatan gugup dan pucat. Dia bercerita bahwa suaminya mengalami luka di dagunya, karena terjatuh. Luka itu cukup dalam dan keluar banyak darah.
Aku menyarankan supaya menutup luka itu dengan plester berbentuk kupu-kupu. Dia menuruti. Sepuluh menit kemudian, dia kembali ke rumahku dengan wajah yang semakin pucat. Katanya, darahnya tak berhenti mengalir.
Mendengar hal itu, aku segera masuk ke rumah mereka. Suaminya terbaring di lantai ruang tanah. Bantalnya sudah berubah merah total, karena bersimbah darah. Astaga! Aku terkesiap sejenak. Ini luka yang cukup serius. Tadinya saya pikir hanya luka gores biasa.
“Ini harus segera dibawa ke rumah sakit,”saranku,”darah yang keluar sudah sangat banyak. Mas ini bisa kehabisan darah.”
“Tidak usah,” kata pria yang terluka itu dengan suara lemah,”nanti juga berhenti sendiri.”
“Tapi darah yang sudah keluar sudah terlalu banyak,” kataku menandaskan.
“Sudahlah. Saya sudah pernah mengalami begini sebelumnya, dan tidak apa-apa kok,” jawab pria itu.
Aku menghampiri isterinya. “Kita harus membawanya ke rumah sakit, atau setidaknya ke klinik terdekat,” kataku. Ia mengangguk menurut. “Saya akan mencari becak dulu,” lanjutku sambil mengeluarkan sepeda motor. Untunglah, masih ada tukang becak yang masih mangkal meski sudah malam.
Aku kembali ke rumah tetangga. Kondisi pria itu semakin lemah, tapi dia masih menolak dibawa ke rumah sakit. Isterinya membujuk-bujuk sambil menangis, pria ini tetap menolak. Aku segera membisiki anak perempuannya yang masih TK untuk membujuk ayahnya supaya mau dibawa ke rumah sakit. Dia menurut, tapi gadis kecil ini membujuknya sambil menangis, “Papa jangan mati, ya. Dibawa ke rumah sakit, ya Pa.”
Tapi tangisan anaknya pun tak mampu meruntuhkan benteng pertahanan itu. Kami pun sudah hampir kehabisan akal. Aku lalu ingat punya teman seorang paramedis. Kami pernah bekerja sama di posko kemanusiaan pada bencana gempa di kota kami. Aku hubungi HP-nya, tapi tidak diangkat. Aduh, apa lagi yang bisa dilakukan?
“Kita jemput mamanya saja, mas” saran ibu penjual gado-gado,”mungkin kalau mamanya yang membujuk, dia mau patuh!”. Usul yang bagus. Aku segera meluncur ke rumah ayahnya yang tidak seberapa jauh. Dengan sepeda motor, aku segera memboncengkan ibu yang sudah tua ini. Tapi usaha ini pun membentur tembok kekerasan hati juga.
Aku sudah mulai tak sabar. Aku sudah punya rencana untuk bersama membopongnya dengan setengah memaksa. Tukan becak masih menunggu di depan rumahnya. Dengan kondisi yang lemah, dia tidak punya tenaga untuk memberontak. Demikian pikirku. Tapi sebelum rencana itu dilaksanakan, teman paramedis itu menghubungi. Aku lalu menceritakan kejadiannya. Dia bersedia datang untuk melihat kondisinya.
Dengan peralatan medis seadanya, temanku itu segera melihat kondisi lukanya. “Luka bapak ini tidak lebar, tapi sangat banyak. Kemungkinannya kena pembuluh darah. Ini harus dijahit,” katanya meyakinkan.
Pria itu tidak membantah. “Saya tidak membawa peralatan. Jadi sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Nanti tidak dijahit banyak kok. Paling satu atau dua jahitan,”lanjut temanku.
“Dibawa ke rumah sakit ya, pa?” kata isterinya.
Pria itu diam saja. Ini pertanda baik. “Oke, becak sudah siap. Kita ke rumah sakit,yuk,”kataku sambil menggamit lengannya. Pria ini akhirnya menurut ketika dipapah ke becak. Di atas becak, pria ini muntah.
“Itu salah satu tanda dia sudah kehilangan banyak darah,” kata temanku yang paramedis. Kami segera membawanya ke klinik terdekat. Dia segera mendapat pertolongan pertama. Tak sampai setengah, jam pendarahan pun berhenti.
Selama menanti di ruang tunggu UGD, saya menanyakan bagaimana kejadiannya pada isterinya. Dia lalu bercerita bahwa suaminya terjatuh ketika dibonceng oleh temannya. Dengan kondisi terluka, dia segera dibawa pulang. Sesampai di rumah, lukanya itu segera dirawat, tapi darahnya mengalir keluar terus. Kalau dihitung, sudah lebih dari enam jam darah itu tidak berhenti keluar.
Hebat juga bapak ini! Esoknya dia sudah berangkat kerja seperti biasa.
Minggu, 25 April 2007

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *