Posted on
Teknologi SMS memang luar biasa. Dengan menyebarkan berita darurat via SMS, hanya dalam waktu setengah hari, kami dapat mengumpulkan bantuan sebanyak satu pick up untuk bencana banjir di Solo.
Dari komunikasi dengan teman-teman di Solo didapatkan informasi bahwa pengungsi sangat membutuhkan nasi bungkus karena sejak semalam banyak yang belum makan. Mereka tidak dapat memasak karena masih tergenang air. Sedangkan untuk mendapatkan bahan pangan dari tempat lain juga masih kesulitan. Selain itu mereka membutuhkan selimut dan baju kering. Teman yang lain meminta bahan pangan dan beras karena mereka membuka dapur umum. Mereka juga membutuhkan lampu badai dan genset.
Kami menyiapkan dua mobil pengangkut. Namun ketika akan berangkat, kami kebingungan menentukan rute perjalanan karena dari informasi yang didapat, sejumlah jalan utama di kota Solo ditutup karena tergenang air. Akhirnya kami memutuskan untuk melewati Baki, Sukoharjo. Pertimbangannya jika mobil kami tidak mampu menerobos halangan air, maka bantuan akan dititipkan di kantor salah satu jemaat yang tidak kebanjiran. Kemudian dari sana akan diangkuti menggunakan jip off road yang mesinnya ada di atas.
Namun ternyata air sudah mulai surut, sehingga kami bisa menembus Solo Baru. Kami berhenti di daerah Grogol, karena ada posko banjir yang dibuka teman di sana. Kami membagikan nasi bungkus yang segera dibagikan. Namun rupanya teman-teman di posko itu belum melakukan koordinasi yang baik sehingga mereka masih kebingungan apa yang harus dilakukan. Padahal banjir di sana sudah mencapai atap rumah tapi mereka tidak punya perahu atau rakit untuk distribusi bantuan. Alat komunikasi juga minim (Belajar dari pengalaman di posko gempa, alat komunikasi HT sangat membantu kerja kemanusiaan. Selain itu, handphone CDMA juga terbukti murah dan handal. Apalagi tidak ada BTS yang rusak karena bencana)
Setelah itu kami bergerak ke sebuah gereja di Coyudan. Air di jalan masih setinggi sekitar 20 meter, tapi iring-iringan mobil kami masih bisa menembusnya. Sesampai di sana, kami segera menemui pengurus gerejanya. Kami menanyakan bantuan apa yang dibutuhkan. Pengurus menjawab bahwa gerejanya tidak butuh apa-apa. Mereka sudah memiliki dana untuk menyediakan makanan selama dua minggu. Rupanya mereka hanya memberikan bantuan untuk anggota jemaat saja, tidak kepada pengungsi lain.  Karena gereja itu tidak membutuhkan bantuan, maka kami segera bergerak ke gereja di Sangkrah. Sebelum keluar dari gereja di Coyudan, mobil teman yang menyusul baru saja sampai. Dia membawa bantuan biskuit dan air minum yang cukup banyak. Rencananya akan disalurkan ke gereja di Coyudan itu. Tapi karena mereka tidak membutuhkan maka biskuit tersebut kami alihkan ke Sangkrah.
Sampai di Sangkrah sekitar pukul 3 sore. Di depan gereja terpasang kain putih dengan tulisan cat pylox seadanya “Posko Bencana Banjir.” Di sana kami bertemu dengan teman-teman relawan. Tanpa disangka, kami melakukan “reuni” lagi. Teman-teman di Sangkrah ini termasuk relawan yang paling cepat datang ke Klaten ketika terjadi gempa 27 Mei 2007. Mereka membantu kami dengan sepenuh hati. Apa saja yang kami butuhkan, mereka berusaha mencarikannya. Mereka juga mengirimkan relawan-relawan. Selain itu, beberapa orang setiap sore mengunjungi posko kami selepas jam kerja. Maka sekarang waktunya bagi kami untuk “membalas budi.”
Bantuan segera diturunkan beramai-ramai. Setengah jam kemudian, kami berpamitan karena langit sudah menghitam. Kami khawatir terjadi banjir lagi sehingga mengalami kesulitan pulang. Benar juga, hujan deras menyertai sepanjang perjalanan. Sesampai di Klaten, mobil yang lain sudah siap meluncur ke Sangkrah sambil membawa nasi bungkus. Siang tadi kami mengerahkan ibu-ibu untuk membuat dapur umum.
 
Untuk melihat video liputan saya tentang banjir, silahkan klik link berikut:
http://www.beoscope.com/watch.php?id=20070000095
 
 
Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *